Jakarta, wmhg.org Indonesia – Rencana bank sentral Amerika Serikat (AS), the Fed, melakukan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing) dikhawatirkan akan membuat sejumlah aset keuangan terpengaruh.
Tak terkecuali bagi aset emas maupun kripto (cryptocurrency). Khusus emas, nilai quantitative easing yang mencapai US$ 120 miliar per bulan saat ini memang menjadi salah satu penopang harga emas, hingga sempat mencetak rekor tertinggi pada Agustus 2020.
Tapering, dinilai bagaikan badai yang bisa membuat harga emas anjlok tajam seperti yang pernah terjadi pada 2013. Kala itu, wacana quantitative easing sempat membuat harga emas terkapar.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk (BNLI) Josua Pardede dalam program Investime wmhg.org Indonesia mengemukakan saat ini harga emas memang mulai terkoreksi lantaran sikap para investor yang mulai mengkhawatirkan tapering.
Baca:
Emas Dunia Kembali ke US$ 1.900, Cek Harga Emas di Pegadaian
Kalau kita lihat harga emas mulai terkoreksi. Artinya pasar atau investor di aset emas ini masih worry dengan potensi dari kenaikan suku bunga AS yang akan diikuti penguatan dolar AS, kata Josua, seperti dikutip Jumat (11/6/2021).
Josua menilai penguatan harga emas dalam jangka pendek cenderung terbatas. Pasalnya, pergerakan harga emas dalam beberapa waktu terakhir mengalami fluktuasi.
Jadi untuk harga emas jangka pendek penguatan lebih lanjut agak terbatas, kata Josua.
Lantas, bagaimana dengan aset kripto seperti Bitcoin, Ethereum, dan kawan-kawannya?
Josua beranggapan aset-aset kripto juga diperkirakan masih akan berada dalam teritori positif. Namun, ia menegaskan tidak ada satupun aset yang absolut dan tahan terhadap berbagai sentimen.
Sebagian besar aset kripto ini masih positif. Jadi artinya apakah dia anti tapering, enggak juga. Semua itu aset dari pergerakan aset keuangan akan dipengaruhi supply demand. Enggak ada aset yang absolut menguat terus, anti inflation, anti tapering, katanya.
Baca:
Tiap Akhir Pekan Kripto Ambles, Ternyata Ini Penyebabnya