wmhg.org – JAKARTA. Indonesia tengah dihadapkan dengan kenyataan habisnya cadangan nikel dalam negeri dalam waktu 25 tahun saja. Artinya pada tahun 2050, atau 5 tahun setelah target Indonesia emas, Indonesia tidak akan lagi memiliki cadangan nikel.
Perhitungan ini diungkap langsung oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba)Â Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Menurut Tri, saat ini Indonesia memiliki cadangan nikel hingga 5,3 miliar ton. Namun, produksi ore atau bijih nikel mengalami peningkatan yang besar dalam beberapa tahun terakhir.
Dengan cadangan kita itu, sekarang produk (produksi) ore kita sudah diangka 200 juta ton per tahun. Artinya kalau kita ngomong lima miliar (kapasitas) itu, dalam waktu 25 tahun finish (cadangan habis), ungkap Tri dalam acara Bisnis Indonesia Economic Outlook 2025, Selasa (10/12).
Baca Juga: Satgas Hilirisasi Diharapkan Bisa Memperbaiki Tata Kelola Supaya Lebih Terpadu
Ia menambahkan, produksi nikel yang tidak terkontrol ini juga akan berpengaruh pada generasi selanjutnya. Apalagi di tahun 2045 Indonesia menargetkan dapat menjadi negara maju dengan kualitas generasi muda yang kompeten.
Kita mau ngomong apa lagi? Ini Indonesia emas masih 20 tahun lagi, 20 tahun setelah Indonesia emas, 5 tahun setelahnya kita habis (cadangan), tambahnya.
Sebelumnya, terkait pengelolaan mineral di dalam negeri, termasuk nikel, Tri sempat menyampaikan pekerjaan rumah (PR) besar Indonesia terkait eksplorasi guna mencari cadangan baru.
Eksplorasi yang dilakukan secara detail di Indonesia mungkin masih kurang dari 20%, itulah yang perlu diidentifikasi, ungkap Tri dalam sesi diskusi di acara Indonesia Mining Summit 2024, di Jakarta, Rabu (4/12).
Eksplorasi yang rendah juga tidak sejalan dengan jumlah perizinan tambang Indonesia yang menurut Tri, terbanyak di dunia.
Betul memang bahwa jumlah perizinan yang ada di Indonesia itu 4.600-an. Mungkin kalau saya dicek di seluruh dunia, Indonesia merupakan rekor dengan pemegang izin terbanyak di dunia, tambahnya.
Baca Juga: Dari Puncak dan Perut Bumi Papua, Tembaga dan Emas Freeport Dihasilkan
Sayangnya, izin eksplorasi untuk mendapatkan cadangan baru juga tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pakar Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengatakan kurangnya data terkait wilayah potensial eksplorasi juga menjadi kendala perusahaan tambang mengajukan Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi mineral logam.
Penelitian-penelitian geologis harus segera dilakukan terutama oleh Kementerian ESDM, sehingga area penambangan tadi bisa diperluas, katanya.
Selain masalah pemetaan, Fahmy bilang kendala lain adalah lambatnya persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) eksplorasi.
Ini (RKAB) butuh waktu yang lama, sehingga memperlama timeline mendapatkan cadangan baru. Ini perlu diperbaiki proses izinnya, tambahnya.
Dalam catatan Kontan, menurut Ketua Indonesia Mining & Energy Forum (IMEF) di tahun ini terjadi keterlambatan RKAB, sehingga mempengaruhi jumlah produksi nikel. Efek lebih jauhnya, banyak smelter nikel di Indonesia melakukan impor nikel dari Filipina.
Dari sisi RKAB bijih nikel yang mencapai 250 juta ton, pada dasarnya cukup aman untuk memenuhi kebutuhan smelter, yang saat ini sekitar sebesar 200 juta ton, kata Singgih kepada Kontan, Kamis (3/10).
Baca Juga: Produksi Melonjak, Sejumlah Emiten Batubara Penuhi Komitmen Pasok DMO Batubara
Menjamurnya Smelter Nikel di Tengah Ancaman Habis Cadangan
Di tengah cadangan yang hampir habis, Tri bilang, Indonesia mencatatkan rekor sebagai negara yang dalam waktu lima tahun belakangan memiliki smelter nikel terbanyak di dunia.
Bayangkan di dunia mana yang dalam jangka waktu 5 tahun sudah ada 50 pabrik smelter yang sudah ada di suatu negara?, tanyanya.
Namun, investasi di sektor tambang nikel dan industri smelter nikel di Indonesia memiliki perbedaan karakter. Investor asing ungkap Tri, lebih suka berinvestasi pada smelter.
Untuk nikel itu jumlah IUP pemegang license untuk tambang 70% adalah lokal dan 30% asing. Kalau smelter itu kebalikan, 70-80% adalah asing, yang 30% atau 20% adalah dalam negeri, tambahnya.
Melesatnya investasi smelter nikel tak selamanya memiliki sisi positif untuk ambisi hilirisasi Indonesia. Ini dilihat dari protesnya holding BUMN Pertambangan, Mining Industry Indonesia (MIND ID) melalui permintaan moratorium atau penangguhan terhadap smelter nikel Rotary Klin Electric Furnace (RKEF).
Asal tahu saja, di Indonesia sekarang terdapat dua jenis smelter nikel yang pertama adalah RKEF yang menghasilkan Nickel Pig Iron (NPI) dan feronikel untuk pembuatan baja tahan karat atau stainless steel. Dan yang kedua adalah smelter HPAL (High Pressure Acid Leach) yang menghasilkan nikel sulfat dan kobalt sulfat, yang merupakan bahan baku baterai kendaraan listrik.
Baca Juga: Pemerintah Tunda Moratorium Smelter Nikel RKEF, Ini Dampaknya ke Industri
Berdasarkan data dari Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM saat ini terdapat 188 pelaku usaha yang tengah melakukan produksi dan konstruksi smelter nikel di Indonesia. Dengan 144 di antaranya smelter RKEF dan sisanya adalah smelter HPAL.
Menurut MIND ID, menjamurnya RKEF berpengaruh pada oversupply dari produk turunan smelter jenis tersebut.
Karena kalau oversupply seperti yang sudah terjadi pada feronikel, harganya jatuh. Sekarang harga ferronickel itu hampir tidak bisa menutup biaya produksi, kata Direktur Utama MIND ID, Hendi Prio Santoso dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi XII DPR, Rabu (4/12).
Adapun, terkait alasan RKEF lebih cepat berkembang dibanding HPAL, Ketua Badan Kejuruan Teknik Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (BK Tambang PII) sekaligus mantan ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli mengatakan investasi RKEF lebih murah dibandingkan HPAL.
Investasi untuk smelter RKEF relatif lebih murah dibandingkan dengan HPAL. Smelter HPAL membutuhkan biaya yang relatif besar di atas US$ 1 miliar. Sehingga tidak semua perusahaan mampu dan tertarik untuk investasi ke smelter ini, katanya saat dihubungi Kontan, Minggu (9/12).
Baca Juga: Harga Nikel Dunia Diprediksi Sulit Menanjak di 2025, Sejumlah Emiten Siapkan Strategi
Sebagai informasi, berdasarkan data Kementerian ESDM total cadangan bijih nikel Indonesia saat ini berada di angka 5,33 miliar ton, sedangkan jika berbentuk logam sebesar 56,12 juta ton.
Dengan tiga wilayah yang memiliki cadangan bijih nikel terbanyak yaitu pertama di kawasan Maluku Utara sebesar 1,87 miliar ton. Diikuti wilayah Sulawesi Tenggara sebesar 1,68 miliar ton dan di tempat ketiga di Sulawesi Tengah sebesar 805,23 juta ton.Â
Selanjutnya: Siswa SMK Sukabumi dan Bandung Studi Tour ke Bogasari
Menarik Dibaca: Cara Menggunakan Copilot AI untuk Edit Gambar dengan Praktis
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News