Jakarta, wmhg.org Indonesia – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amerika Serikat (AS) telah menyetujui rancangan undang-undang (RUU) terkait penangguhan plafon utang negara hingga 1 Januari 2025 pada Rabu malam (31/5) waktu setempat.
Melansir Reuters, hasil akhir pemungutan suara adalah 314-117 dengan 71 anggota Partai Republik dan 46 anggota Partai Demokrat yang memilih menentang RUU tersebut. Selanjutnya, RUU tersebut harus disetujui oleh Senat AS untuk kemudian dapat dikirimkan kepada Presiden AS Joe Biden untuk ditandatangani menjadi undang-undang (UU) sebelum batas waktu Senin depan (5/6). Pada hari tersebut, diperkirakan pemerintah federal AS akan kehabisan dana untuk membayar tagihan-tagihannya.
Di Senat, para pemimpin dari kedua partai mengatakan mereka berharap dapat segera mengesahkan undang-undang tersebut sebelum akhir pekan ini. Namun, kemungkinan adanya penundaan karena pemungutan suara mengenai amendemen dapat mempersulit situasi.
Baca:
Amerika Nambah Utang Rakyatnya Hepi, Kalau di RI Nyinyir!
Kenapa China Masih Was-Was?
Workers assemble electronic cigarettes on a production line at the Ruyan factory in Tianjin, China, Thursday, Feb. 19, 2009. The battery-powered products, which resemble real cigarettes but produce a fine nicotine mist, which is absorbed quickly and directly by the lungs, are gaining ground in America and Europe, and have even made a dent in China, home to 350 million smokers – the world\’s biggest tobacco market. (AP Photo/Greg Baker)
Kesepakatan soal plafon utang AS diharapkan dapat menghindari risiko kebangkrutan kredit yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sebelumnya, risiko AS default membuat orang khawatir bahwa hal tersebut dapat menjadi bencana bagi ekonomi global yang telah terpukul oleh krisis perbankan, inflasi tinggi yang berkepanjangan, dan dampak dari perang di Ukraina.
Menurut pengamat, hal ini juga akan meredakan kekhawatiran di China di mana pemulihan ekonomi pasca-pandemi tampaknya kehilangan momentum bulan lalu.
Dalam jangka pendek, kekhawatiran telah mereda, tetapi ketidaksepakatan antara kedua partai dan dampaknya terhadap ekonomi Amerika Serikat dan global, terutama terhadap aset dolar Amerika Serikat, sebenarnya belum sepenuhnya hilang, kata profesor keuangan dari Universitas Renmin, Zhao Xijun, dilansir dari SCMP.
Kesepakatan ini mungkin dianggap sebagai kemenangan bagi Biden, tetapi krisis ini telah memperlihatkan adanya permusuhan partisipan yang dalam di Amerika Serikat dan membuat orang mempertanyakan kredibilitas pemerintah AS.
Selama kepentingan kedua partai tidak sejalan, perselisihan mengenai batas utang akan muncul kembali–dan semakin sering, kata Zhao.
Batas utang semakin menjadi isu kontroversial antara kedua partai, yang mungkin kurang bersedia untuk kompromi di masa depan, imbuh Zhao.
Baca:
Faisal Basri Sebut Era Jokowi Super Boros, Ini Penjelasannya
Negosiasi alot yang berlangsung selama berminggu-minggu di Washington menimbulkan kekhawatiran di China. Ini lantaran AS sebagai salah satu pasar tujuan utama investasi efek (securities) luar negeri China.
Menurut data dari Departemen Keuangan AS, China menggenggam surat utang AS (Treasury) senilai US$859 miliar pada Januari. China merupakan pemegang terbesar kedua setelah Jepang.
China sangat khawatir tentang risiko yang terkait dengan masalah utang karena China memiliki sejumlah besar obligasi dan aset investasi AS, dan kekacauan di pasar kredit AS akan berarti tekanan tidak hanya bagi pasar keuangan AS tetapi juga bagi dolar AS, kata Zhao. Dalam hal ini, seluruh pasar keuangan internasional akan terpengaruh.
Utang Pemerintah
Shi Yinhong, pakar hubungan internasional yang juga berafiliasi dengan Universitas Renmin, memperingatkan, masih ada beberapa ketidakpastian tentang bagaimana Biden dan McCarthy akan membawa kesepakatan ini kepada Kongres.
Waktu semakin berjalan dan tidak mungkin kedua kamar Kongres [DPR dan Senat] menolak kesepakatan, kata Shi. Tetapi jika kedua partai gagal mencapai kesepakatan sebelum batas waktu default, itu akan menjadi pukulan yang sangat besar bagi China dan Jepang.
Chen Fengying, peneliti senior di Institusi Hubungan Internasional Kontemporer China di Beijing, mengatakan, isu batas utang AS adalah masalah politik, bukan masalah ekonomi.
Dalam hal ini, semuanya soal bipartisanship dan perundingan antara kedua partai, kata Chen.
Tan Yaling, kepala China Forex Investment Research Institute yang berbasis di Beijing, mengatakan, krisis utang AS akan memiliki dampak terbatas bagi China. Yang lebih mengkhawatirkan adalah kesenjangan yang besar dalam tingkat imbal hasil bunga antara kedua negara.
Imbal hasil surat berharga AS yang lebih tinggi dibandingkan obligasi pemerintah China akan memicu lindung nilai dan tindakan spekulatif [yang akan membawa risiko bagi pasar keuangan China], katanya.
Badan keuangan China telah berulang kali memperingatkan tentang hambatan ekonomi eksternal terhadap pemulihan ekonomi Negeri Tirai Bambu tersebut.
Dalam laporan moneter kuartal pertama pada 15 Mei, bank sentral China mengatakan bahwa perlambatan pertumbuhan global, inflasi tinggi, konflik geopolitik yang sedang berlangsung, dan kebijakan moneternya yang ketat di negara-negara besar telah memperburuk gejolak pasar keuangan global, membuat pasar menjadi tidak stabil, tidak pasti, dan sulit diprediksi.
Baca:
Kondisi Utang RI Makin Bengkak, Ini Penjelasan Stafsus Menkeu
Pang Zhongying, profesor kepala ekonomi politik internasional di Universitas Sichuan, mengatakan, meskipun adanya persaingan sengit antara kedua negara, kesepakatan batas utang di AS juga merupakan berita baik bagi China.
Setiap kekacauan keuangan di AS pasti akan berdampak pada China karena AS masih merupakan ekonomi terbesar di dunia, kata Pang.
China dan Amerika Serikat tidak sepenuhnya terpisah, jadi kesepakatan pagu utang ini juga merupakan kepentingan China dan dunia, pungkasnya.