wmhg.org – Saat ini kejahatan korporasi dengan modus ultimate beneficial owner atau penerima manfaat terakhir masih marak terjadi di sektor keuangan.
Modus ini sejatinya adalah pemilik manfaat yang acap kali menjadi tirai bagi seseorang untuk berlindung atas kejahatan yang dilakukannya di sektor keuangan.
Hal tersebut disampaikan Pengamat Hukum Denny Indrayana dalam gelaran InfobankTalknews secara daring bertema Membongkar Kejahatan Korporasi di Sektor Keuangan, Rabu, 24 Juli 2024.
Teranyar, adalah kasus bos Grup Kresna Michael Steven (MS) yang menjadi tersangka kasus gagal bayar di PT Kresna Sekuritas. Menurut Denny, modus ultimate beneficial owner terjadi dalam kasus Kresna Life.
“Kalau dalam bahasa yang populer disebut dengan modus Ali Baba. Ali yang diletakkan di depan sebenarnya dan Baba yang kemudian mengendalikan. Ada office boy jadi direktur, sopir jadi direktur utama atau ada orang-orang yang dijadikan wayang, sedangkan dalangnya ada di belakang,” kata Denny.
Sebagai catatan, pada (11/9/2023), pemilik Grup Kresna Michael Steven ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri atas perkara yang menyangkut PT Kresna Sekuritas, seperti diberitakan CNBC pada 13 September 2023.
Di luar batas kewajaran, meski sudah ditetapkan sebagai tersangka, MS masih dapat memenangkan gugatan terhadap Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam tiga kasus di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Menurut Denny, ada sejumlah ketentuan peraturan perundangan-undangan yang bisa digunakan untuk menjerat pemilik manfaat sebagai pelaku kejahatan korporasi. Dua di antaranya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Penerapan Tata Kelola Manajer Investasi dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 15 Tahun 2019.
“Pemegang saham itu bukan hanya atas nama yang ada di dalam anggaran dasar, tapi dia bisa jadi tidak muncul dalam anggaran dasar dan manfaatnya dia terima,” jelas mantan wakil menteri hukum dan HAM ini.
Sebenarnya, kata Denny, modus penerima manfaat sudah diantisipasi. Sayangnya, tidak sedikit oknum penegak hukum yang tidak paham, tutup mata, atau bahkan mengenyampingkan ketentuan tersebut.
Dari sisi hukum terkait kasus MS sebagai buron, menurut Denny, pelaku kejahatan yang “melarikan diri” semestinya diberikan pengetatan dalam melakukan upaya hukum. Jika pengadilan tidak berani mengambil sikap demikian, maka buron dengan bebas lari dari tanggung jawabnya terhadap proses penegakan hukum.
“Dalam kajian ilmu hukum yang telah diperbincangkan secara global, dikenal doktrin fugitive disentitlement, yaitu konsep untuk membatasi hak “penjahat” dalam melakukan pembelaan hukum pada situasi tertentu. Bila mencermati ketentuan domestik, Mahkamah Agung telah menetapkan sejumlah surat edaran yang mengandung pembatasan hak bagi buronan, misalnya larangan bagi DPO untuk mengajukan upaya praperadilan dalam SEMA 1/2018,” jelasnya.
Sementara, Pengamat Asuransi Kapler Marpaung menerangkan bahwa industri keuangan adalah lembaga penghimpun dana masyarakat. Oleh karenanya, dibutuhkan kepercayaan publik. Apabila ditemukan fraud atau pemalsuan laporan keuangan yang menjadi pemicu gagal bayar klaim pemegang polis, maka perlu diambil langkah serius terhadap perbuatan tersebut.
Di kesempatan yang sama, Pengamat Pasar Modal Budi Frensidy, gagal bayar Kresna Life terjadi akibat nilai investasi emiten yang terafiliasi dengan Grup Kresna turun drastis di bursa efek. Misalnya, PT Quantum Clovera Investama Tbk (KREN) dan PT Asuransi Maximus Graha Persada Tbk (ASMI) yang masing-masing turun 88 persen dan 84 persen secara ytd per 22 Juli 2024.
“Anjloknya harga saham tersebut dampak buruk dari pengelolaan tata kelola di manajemen Kresna Life,” tegasnya.
Kemudian, Pemimpin Redaksi Media Group Infobank Eko B. Supriyanto, kejahatan sektor korporasi harus menjadi perhatian penting oleh aparat dan penegak hukum di Tanah Air. Menurutnya, untuk mencegahnya OJK menerapkan “daftar orang rusak” yang lebih teliti.
“Jangan memberikan karpet merah bagi mereka yang sudah melakukan kejahatan untuk melakukan upaya hukum,” tutupnya.