Jakarta, wmhg.org Indonesia – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih bertahan di level lebih dari Rp 16.000 hingga akhir Juli 2024. Hal ini seiring dengan ketidakpastian penantian kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed.
Melansir data Refinitiv, rupiah sepanjang pekan lalu tertekan 0,62% ke angka Rp16.285/US$ pada perdagangan Jumat (26/7/2024).
Secara teknikal dalam basis waktu per jam, rupiah masih dalam tren pelemahan. Resistance terdekat di level psikologis Rp16.300/US$ jika ditembus memungkinkan rupiah menguji level terpuruknya lagi ke sewaktu Pandemi Covid-19 menyerang di RI di Rp16.390/US$.
Baca:
Orang Kaya Rajin Nabung Valas, Melesat 20,7% Jadi Rp1.388,04 T
Sementara itu, jika ada pembalikan arah menguat bisa dicermati posisi Rp16.275/US$ yang didapatkan dari garis rata-rata selama 20 jam atau Moving Average/MA 20.
Tren pelemahan rupiah yang terjadi mengingatkan pada situasi krisis 1998. Kala itu situasi Indonesia berkecamuk, tidak hanya pada persoalan ekonomi, namun juga sosial dan politik.
Pelaku pasar mungkin tak akan lupa sosok mendiang Bacharuddin Jusuf Habibie. Di masa kepemimpinannya yang singkat, yakni hanya 1 tahun 5 bulan, Presiden Ke-3 RI ini justru berhasil membuat mata uang garuda menguat 34% dari Rp 16.800 menjadi Rp 7.385 per dolar Amerika Serikat (AS).
Pada 21 Mei 1998, Bacharuddin Jusuf Habibie ketiban sampur melanjutkan nakhoda republik ini yang sedang terkoyak oleh krisis keuangan, yang berkembang menjadi krisis ekonomi dan krisis sosial. Demo mahasiswa dan krisis ekonomi yang berlarut menjungkalkan rezim Soeharto.
Beberapa pekan setelah dia menduduki kursi presiden, nilai tukar rupiah sempat ambrol hingga mencapai level terlemahnya sepanjang sejarah, yakni di level Rp 16.800 pada 1 Juni 1998. Sentimen pasar memang sangat buruk di tengah ambruknya ekonomi negara Asia lainnya.
Baca:
Kamala Harris Bisa Kalahkan Trump, \’Hujan Duit\’ Rp 3,2 T Seminggu
Di Indonesia, bank rush (penarikan dana besar-besaran) menerpa bank-bank sejak tahun 1997 karena nasabah khawatir dana simpanan mereka hilang, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jatuh dari level psikologis 500 ke 258 (pada 6 Oktober 1998), dan disintegrasi bangsa menyeruak.
Paket restrukturisasi perbankan untuk membangun kembali perbankan yang sehat pada 21 Agustus 1998 cukup efektif. Lewat kebijakan ini, beberapa bank di-merger untuk menjadi bank baru yang kuat dari sisi pendanaan, salah satu hasilnya adalah Bank Mandiri.
Pemerintahan Habibie juga mengambil keputusan besar untuk memisahkan Bank Indonesia (BI) dari pemerintah. Dengan pemisahan itu, BI menjelma menjadi lembaga independen dan mendapatkan lagi kepercayaan.
Habibie mampu meyakinkan pasar global dan menjinakkan tekanan atas rupiah meski tanpa dukungan intervensi BI, yang kala itu belum memiliki kewenangan stabilisasi rupiah. Gubernur BI Perry Warjiyo kini berwenang mengintervensi rupiah berkat UU tentang BI (No. 23 tahun 1999), yang diteken oleh Habibie.
Dalam masa pemerintahan Habibie, rupiah tercatat menguat 34,1%, dari Rp 16.800 per dolar AS (20 Mei 1998) menjadi Rp 7.385 (20 Oktober 1999). Rupiah bahkan sempat menyentuh level terkuatnya dalam sepanjang sejarah Indonesia setelah krisis 1997, yakni pada 6.550 per dolar AS (28 Juni 1999).