Jakarta, wmhg.org Indonesia – Setelah kemerdekaan Indonesia, Liem Sioe Liong alias Sudono Salim, terkenal sebagai pengusaha impor cengkeh dan logistik tentara. Jaringan bisnis yang luas membuat Kolonel Soeharto tertarik untuk bekerja sama dengan Salim.
Melalui perantara Sulardi, Salim dan Soeharto akhirnya berkenalan dan menjadi penyuplai logistik pasukan Kolonel Soeharto semasa Perang Kemerdekaan, yaitu pada 1945 hingga 1949.
Setelah Soeharto meraih kekuasaan di Indonesia pada pertengahan 1960-an dan menjadi presiden, dia (Soeharto) didukung oleh kelompok kroni pengusaha. [Pendukung] terbesar dan terkuat adalah Liem Sioe Liong, tulis Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group (2016), dikutip Kamis (1/6/2023).
Selama tiga dekade kepemimpinan Soeharto, keduanya terlibat dalam relasi yang saling menguntungkan. Soeharto melindungi Liem dan memastikan bisnisnya berjalan lancar, sementara Liem menyalurkan dana kepada Soeharto, keluarga, dan kroni lainnya melalui kerajaan bisnis Salim Group.
Berkat simbiosis tersebut, kedua pihak berjaya di jalannya masing-masing. Salim sukses terdaftar sebagai orang terkaya di Indonesia, sementara Soeharto sukses memegang kuasa di Tanah Air. Namun, kejayaan keduanya tiba-tiba hancur sekejap dalam waktu beberapa hari saja pada Mei 1998.
Salim Menjadi Target Amukan Massa
Selama tiga dekade, Salim sukses membangun tiga kerajaan bisnis di tiga sektor, yakni perbankan (Bank Central Asia alias BCA), konstruksi (Indocement), dan makanan (Bogasari dan Indofood). Namun, semua bisnisnya perlahan runtuh saat memasuki krisis 1998. BCA menjadi yang terparah.
Sejarawan, M.C Ricklefs, dalam Sejarah Indonesia Modern (2009) menyebutkan bahwa selama masa krisis, nasabah menarik dana secara massal dan besar-besaran. Ratusan orang bahkan rela mengantre selama berjam-jam untuk menguras seluruh tabungannya. Kondisi ini membuat BCA yang tidak lagi dipercaya masyarakat terancam bangkrut.
Kedekatan dengan Soeharto ternyata menjadi malapetaka bagi Salim. Masyarakat yang mengetahui kedekatan Salim dengan Soeharto membuat ia menjadi target sasaran. Hal ini terjadi setelah unjuk rasa beralih menjadi kerusuhan rasial pada 13 Mei 1998.
Pada saat itu, Jakarta dan sekitarnya mengalami kerusuhan, penjarahan, dan pembakaran terhadap rumah, bangunan pertokoan, dan banyak kendaraan (Kompas, 14 Mei 1998). Aksi ini dilakukan oleh massa yang sudah terprovokasi. Dalam aksi tersebut, masyarakat terprovokasi menyasar bangunan dan kendaraan milik orang Tionghoa, bahkan menargetkan masyarakat keturunan Tionghoa.
Jemma Purdey dalam Kekerasan Anti-Tionghoa di Indonesia 1996-1999 (2013) menjelaskan, munculnya sentimen rasial terhadap masyarakat keturunan Tionghoa karena ada stereotip bahwa mereka patut dibenci. Masyarakat banyak yang menggap mereka kaya raya karena dekat dengan penguasa Soeharto. Salah satu tokoh yang melekat dengan deskripsi itu adalah Sudono Salim.
Perusahaan para cukong dan keluarga Soeharto merupakan sasaran utama pembakaran dan penjarahan. Bank Central Asia milik Liem Sioe Liong merupakan objek serangan utama, tulis Ricklefs, dikutip Kamis (1/6/2023).
Menurut Richard Borsuk dan Nancy Chng, sebagai target amukan massa, Sudono Salim, istri, dan beberapa anaknya berada dalam nasib yang menguntungkan. Sebab, pada saat itu mereka sedang di Amerika Serikat (AS). Diketahui, Salim mengunjungi AS untuk melakukan operasi mata.
Di Jakarta, hanya ada Anthony Salim yang bekerja di Wisma Indocement, Jl. Sudirman. Saat itu, Anthony bahkan sampai tidak berani pulang ke rumah bapaknya di kawasan Roxy, Jakarta Pusat. Sebab, kerusuhan massa juga menyasar permukiman masyarakat Tionghoa. Dikhawatirkan, jika Anthony berdiam diri di rumah, ia bisa terbunuh.
Prediksi itu kemudian benar terjadi. Pada 14 Mei pagi, Anthony menerima kabar kalau rumah bapaknya didatangi sekelompok pemuda bertampang sangar, bersenjatakan jerigen bahan bakar, dan perkakas. Mereka ingin masuk ke rumah mewah Liem.
Anthony tak berkutik. Dia memerintahkan satpam untuk mempersilahkan massa masuk merusak rumahnya, ketimbang dihadang dan terjadi pertumpahan darah.
Dalam sekejap, seluruh mobil di garasi terbakar, termasuk juga seisi rumah. Mereka membakar furnitur, mencopot lukisan, dan mengobrak-abrik kamar. Bahkan, mereka mencoret-coret rumah dengan kata-kata tidak pantas, tutur Anthony kepada Richard Borsuk dan Nancy Chng.
Setelah beberapa menit melakukan itu, kediaman Salim langsung terbakar. Di jalanan, foto Salim dilempari batu dan dibakar oleh massa yang marah (Kompas, 15 Mei 1998).
Melihat situasi Jakarta yang sangat parah, Anthony langsung berangkat menuju Singapura dengan jet pribadi.
Kerajaan Bisnis Runtuh
Setelah kerusuhan mereda dan Soeharto lengser, BCA mengalami kerugian paling parah. Tercatat, sebanyak 122 cabang rusak. Secara rinci, 17 kantor terbakar habis, 26 cabang dirusak dan dijarah, dan 75 cabang rusak tetapi tidak dijarah. Lalu, ada 150 ATM yang dirusak dan diambil uang tunainya hingga menelan kerugian Rp3 miliar.
Selain BCA, Indofood juga mendapat serangan. Pabrik di Solo dijarah dan dibakar hingga menelan kerugian Rp42 miliar. Pusat distribusinya di Tangerang juga hancur dijarah massa. Hanya Indocement yang masih bisa bertahan.
Seminggu setelah Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, BCA diambil alih oleh pemerintah karena kondisi keuangannya semakin berdarah-darah tak tertolong. Pemerintah lewat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) resmi menjadikan BCA sebagai BTO (Bank Taken Over). Pengambilalihan ini bertujuan untuk menolong BCA agar tidak jatuh terlalu dalam.
Sejak itulah, BCA tidak lagi menjadi milik keluarga Salim. Richard Borsuk dan Nancy Chng menyebut untuk menghidupi kembali mesin-mesin kekayaan, Salim hanya mengandalkan Indofood.
Kini, 25 tahun setelah kejadian memilukan itu, bisnis keluarga Salim mulai berjaya. Bisnisnya pun tidak hanya Indofood, tetapi juga merambah sektor migas, konstruksi, dan perbankan.