Jakarta, wmhg.org Indonesia – Harga tembaga dunia mencapai rekor tertinggi dalam 3 minggu terakhir pada Selasa ini (6/7) di tengah turunnya performa bursa berjangka di China (futures exchange) yang memperdagangkan kontrak komoditas termasuk tembaga, akibat pengetatan peraturan terhadap perusahaan teknologi dalam negeri.
Tak hanya itu, sentimen rilis data ketenagakerjaan Amerika Serikat (AS) yang kuat juga ikut memicu momentum pembelian tembaga di pasar berjangka karena ekspektasi pemulihan ekonomi.
Data perdagangan pasar futures menunjukkan, harga tembaga untuk kontrak 3 bulan di bursa berjangka London Metal Exchange (kode: CMCU3) naik 1,1% menjadi US$ 9.610,60 per ton atau Rp 137 juta per ton (kurs Rp 14.300/US$) pada pukul 07.01 GMT (Greenwich Mean Time).
Baca:
Ekonomi Dihantam, Pemerintah Gantungkan Nasib ke Batubara Cs!
Sebelumnya harga tembaga sempat mencapai level tertinggi sejak 16 Juni di US$ 9.616 per ton atau Rp 138 juta di awal sesi perdagangan.
Sementara itu dari Shanghai Futures Exchange, bursa berjangka di China, kontrak tembaga untuk pengiriman Agustus (kontrak yang paling banyak diperdagangkan) dengan kode: SCFcv1 ditutup naik 1,9% menjadi 70.100 yuan atau US$ 10.852,74 per ton, setara dengan Rp 155 juta.
Senada dengan yang terjadi di LME, harga kontrak berjangka untuk tembaga ini mencapai level tertinggi sejak 15 Juni di harga 70.230 yuan pada sesi awal perdagangan.
Sebelumnya dikutip dari Reuters, otoritas pengelola cadangan logam China dijadwalkan akan melelang 20.000 ton tembaga atau hanya 2,3% dari output (produksi) negara itu pada Mei, bersama dengan logam lainnya pada 5-6 Juli, Senin dan Selasa hari ini.
China, di bawah kendali Presiden Xi Jinping, sejak Mei juga terus menegaskan akan memperketat regulasi bagi perusahaan besar di sektor teknologi asal China. Sebab itu, China akan menerapkan aturan yang lebih ketat seperti perlindungan data konsumen hingga antimonopoli. Sektor teknologi juga menjadi salah satu sektor yang tinggi dalam memanfaatkan tembaga.
Selain itu, pada Jumat lalu, rilis data ketenagakerjaan AS menunjukkan percepatan dalam perekrutan tenaga kerja di AS dan ini memberi harapan akan perkuatan permintaan untuk logam dan pemulihan ekonomi di AS.
Harga logam lain juga ikut mengalami kenaikan dengan momentum yang sama, seperti harga nikel di bursa LME (kode: CMNI3) yang naik 0,7% menjadi US$ 18.540 per ton atau Rp 265 juta, Zinc LME (kode: CMZN3) naik 0,9% menjadi US$ 2.971 per ton atau Rp 42 juta.
Dari bursa berjangka Shanghai, harga nikel (kode: SNIcv1) naik 1,2% menjadi 138.020 yuan per ton dan harga timah (kode: SSNcv1) melonjak 2,4% menjadi 219.220 yuan per ton.
Harga tembaga memang digadang-gadang berpotensi bisa menyentuh US$ 20.000 per metrik ton di 2025, berdasarkan analisis Bank of America (BofA), seperti dilansir dari wmhg.org International, Mei silam.
Baca:
IHSG Joss! Asing Borong EMTK-ASII, Lepas Saham Telko-Menara
Dalam sebuah catatan pada Selasa (4/5/2021), ahli strategi komoditas Bank of America Michael Widmer menyoroti persediaan yang diukur dalam ton saat ini berada di level yang terlihat seperti 15 tahun lalu.
Kondisi ini menyiratkan bahwa stok saat ini hanya mencakup sekitar tiga minggu permintaan. Ini terjadi ketika ekonomi global mulai terbuka dan meningkat.
Terkait dengan itu, kami memperkirakan defisit pasar tembaga, dan persediaan menurun lebih lanjut, tahun ini dan tahun depan, kata Widmer.
Dengan persediaan [di London Metal Exchange] mendekati titik jepit, ada risiko kemunduran, dipicu oleh reli harga dalam waktu dekat ini, diperkirakan dapat meningkat, ujarnya.
Widmer juga menggarisbawahi bahwa peningkatan volatilitas akibat turunnya persediaan bukan tanpa preseden, karena hal ini pernah terjadi pada komoditas nikel di mana terjadi kekurangan stok nikel di gudang LME pada tahun 2006/2007, sehingga mendorong harga nikel melesat lebih dari 300%.
Baca:
Kripto \’Big Cap\’ Lagi Loyo, Koin-koin Receh Naik Daun