Jakarta Harga Bitcoin (BTC) sempat turun di bawah USD 95.000 atau setara Rp 1,55 miliar (asumsi kurs Rp 16.370 per dolar AS) setelah data inflasi terbaru menunjukkan angka yang lebih tinggi dari perkiraan.
Kondisi ini semakin mengikis harapan investor bahwa Federal Reserve akan memangkas suku bunga dalam pertemuan bulan Maret. Inflasi Amerika Serikat (AS) naik menjadi 3% pada Januari 2025.Â
Dilansir dari Yahoo Finance, Kamis (13/2/2025), meski sempat melemah, Bitcoin berhasil pulih dan kembali diperdagangkan di kisaran USD 97.000 atau setara Rp 1,58 miliar. Saham perusahaan yang terkait dengan Bitcoin, seperti MicroStrategy (MSTR), Coinbase (COIN), dan Marathon Holdings (MARA), juga mengalami pergerakan yang mencerminkan pola serupa.
Namun, kenaikan inflasi serta ketidakpastian terkait kebijakan tarif yang berpotensi memperburuk inflasi bukan kabar baik bagi Bitcoin sebagai instrumen investasi. Suku bunga yang lebih tinggi meningkatkan daya tarik Obligasi Pemerintah, yang menawarkan imbal hasil lebih besar dengan risiko lebih rendah dibandingkan aset spekulatif seperti Bitcoin.
Apa yang Terjadi dengan Bitcoin?
Pada 20 Januari 2025, Bitcoin sempat mencapai rekor tertinggi di atas USD 109.000, tepat sebelum pelantikan Presiden AS Donald Trump. Banyak investor berharap regulasi yang lebih bersahabat terhadap aset digital di bawah kepemimpinan Trump akan membawa dampak positif bagi pasar kripto.
Namun, meskipun optimisme ini cukup besar, harga Bitcoin tetap fluktuatif dan belum menunjukkan tren kenaikan yang konsisten.
Beberapa analis, termasuk kepala aset digital BlackRock, telah berargumen Bitcoin lebih mirip dengan aset lindung nilai seperti emas, yang cenderung berkinerja baik saat ketidakpastian ekonomi meningkat.Â
Namun, teori ini mulai dipertanyakan karena Bitcoin sering kali bergerak sejalan dengan aset kripto berisiko seperti saham tradisional, yang juga mengalami penurunan setelah laporan inflasi terbaru dirilis.