Jakarta – Bitcoin, sebagai aset kripto terkemuka, telah mengalami fluktuasi signifikan selama beberapa bulan terakhir. Antara 3 hingga 7 Oktober, harga Bitcoin sempat naik 5,2 persen. Namun, hingga saat ini, harga tersebut masih belum mampu menembus batas USD 66.000 sejak akhir Juli.
Meskipun meningkatnya utang pemerintah Amerika Serikat diperkirakan dapat menjadi katalis dalam jangka panjang, dampaknya dalam waktu dekat ternyata masih sangat terbatas.
Menurut Trader Tokocrypto, Fyqieh Fachrur, salah satu faktor kunci yang menghambat pergerakan Bitcoin adalah penguatan nilai dolar Amerika Serikat. Sejak akhir September, Dolar AS telah menunjukkan tren penguatan dengan Indeks Dolar AS (DXY) naik dari 100,4 menjadi 102,5 pada awal Oktober 2024.
Kekuatan dolar AS ini menandakan bahwa investor lebih memilih memegang dolar ketimbang aset berisiko seperti Bitcoin, meskipun ada kekhawatiran mengenai utang pemerintah AS,” kata Fyqieh, Minggu (13/10/2024).
Dia menuturkan, selain faktor penguatan dolar AS, kondisi global seperti ketidakpastian ekonomi, konflik di Timur Tengah, serta Pemilihan Presiden AS mendatang turut memengaruhi minat investor terhadap Bitcoin. Data pekerjaan Amerika Serikat untuk bulan September yang dirilis pada 4 Oktober menunjukkan bahwa ekonomi AS tetap kuat.
Hal ini meredakan risiko resesi, tetapi mengurangi peluang pemotongan suku bunga oleh The Fed,” ujar Fyqieh.
Di sisi lain, suku bunga yang tinggi juga menjadi alasan mengapa investor lebih berhati-hati terhadap aset berisiko seperti Bitcoin. Ketika suku bunga tetap tinggi, aset dengan risiko rendah seperti obligasi menjadi lebih menarik.
Investor lebih memilih memarkir modal mereka di instrumen yang lebih stabil dibandingkan mengambil risiko pada Bitcoin,” ujar Fyqieh.