Jakarta Cadangan Bitcoin yang tersedia di bursa mata uang kripto terus menurun dan kini hanya tersisa sekitar 2,5 juta BTC, level terendah sejak 2022. Kondisi ini memicu kekhawatiran akan potensi krisis pasokan, terutama karena permintaan dari investor institusional terus meningkat.
Salah satu pemicu utama adalah dana yang diperdagangkan di bursa (ETF) Bitcoin yang mengakumulasi aset dengan kecepatan 20 kali lipat dibandingkan dengan jumlah Bitcoin yang baru ditambang.
Data dari CryptoQuant menunjukkan jumlah Bitcoin di bursa belum pernah serendah ini sejak pencatatan dimulai. Meskipun pasar masih mengalami volatilitas, harga Bitcoin tetap bertahan di atas USD 95.000 atau setara Rp 1,5 miliar (asumsi kurs Rp 16.370 per dolar AS), mencerminkan ketahanan di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Bagian Dinamika Pasar
Meski begitu, para analis menilai ini bukanlah indikasi tren jangka panjang, melainkan bagian dari dinamika pasar. Secara keseluruhan, tren tetap positif berkat akumulasi institusional dan menurunnya tekanan jual dari pemegang Bitcoin jangka panjang.
Salah satu indikator utama dalam pergerakan pasar adalah kelelahan penjual, yang menandakan berkurangnya tekanan jual dan meningkatnya permintaan beli.
Ryan Lee, kepala analis di Bitget Research, menjelaskan level dukungan psikologis dan faktor ekonomi makro turut berperan dalam menjaga stabilitas Bitcoin.
Saat ini, kepemilikan Bitcoin oleh ETF bahkan telah melampaui jumlah yang dimiliki oleh pencipta Bitcoin, Satoshi Nakamoto. Sementara itu, 69% dari total pasokan Bitcoin kini dipegang oleh investor individu, membuat jumlah koin yang tersedia untuk diperdagangkan semakin terbatas.
“Dengan pasokan yang makin menipis, peningkatan permintaan sekecil apa pun bisa memicu kenaikan harga yang signifikan,” kata Lee, dikutip dari Yahoo Finance, Kamis (13/2/2025).