Jakarta Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) telah menerbitkan laporan baru yang mendokumentasikan bagaimana sindikat kriminal di Asia Tenggara semakin banyak menggunakan aset digital dan kecerdasan buatan (AI) generatif untuk melakukan kejahatan yang lebih canggih.
Perwakilan Regional UNODC untuk Asia Tenggara dan Pasifik, Masood Karimipour menjelaskan di seluruh wilayah, para penjahat menyamarkan aktivitas terlarang mereka menggunakan kripto, yang pada akhirnya mempersulit pendeteksian penipuan, pencucian uang, perbankan gelap, dan penipuan daring.
Tahun lalu, volume uang yang hilang dari kelompok-kelompok terorganisasi ini mencapai USD 37 miliar atau setara Rp 578,3 triliun (asumsi kurs Rp 15.631 per dolar AS), menurut data UNODC.
Berdasarkan infrastruktur perbankan gelap yang ada, termasuk kasino yang tidak diatur, tempat perjudian daring ilegal, dan platform perjudian daring ilegal yang telah mengadopsi mata uang kripto,” isi laporan UNODC, dikutip dari Yahoo Finance, Kamis (10/10/2024).
UNODC menambahkan menjamurnya penyedia layanan aset virtual (VASP) berisiko tinggi di seluruh Asia Tenggara kini telah muncul sebagai kendaraan baru yang memungkinkan hal ini terjadi, melayani industri kriminal tanpa akuntabilitas.
“Kelompok kejahatan terorganisasi mengeksploitasi kerentanan, dan situasi yang berkembang melampaui kapasitas pemerintah untuk mengatasinya,” jelas Karimipour.
Banyak dari kejahatan siber ini dilakukan di Telegram, dan bergantung pada stablecoin, atau aset digital yang dipatok dengan aset stabil seperti emas atau dolar AS.
Stablecoin telah muncul sebagai lapisan dasar dalam kejahatan dunia maya, dan tahun lalu menyumbang hingga 70 persen penipuan kripto di seluruh dunia, menurut laporan UNODC.