Jakarta Indonesia, sebuah negara dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa, mempunyai tantangan besar untuk memacu pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, namun di balik kebutuhan yang mendesak untuk membangun infrastruktur yang layak, terdapat keterbatasan anggaran APBN dan APBD.
Skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) mempuyai peran besar sebagai jembatan antara kebutuhan pembangunan infrastruktur dan keterbatasan anggaran pemerintah. KPBU adalah kerjasama antara pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur untuk kepentingan umum dengan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya Badan Usaha dengan memperhatikan pembagian risiko diantara para pihak (Perpres 38/2015).
Sejak diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, KPBU telah menjelma menjadi instrumen andalan dalam membangun infrastruktur di berbagai sektor. Skema ini memungkinkan pemerintah untuk berbagi risiko dengan sektor swasta, sambil memanfaatkan keahlian teknis dan efisiensi operasional badan usaha dalam merealisasikan proyek-proyek vital.
Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat, dan pencapaian yang diraih KPBU selama periode ini sangat layak diapresiasi. Per 30 September 2024, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah berhasil membangun dan mengoperasikan 23 proyek KPBU senilai Rp 134,78 Triliun dari 36 proyek KPBU yang telah ditandatangani senilai Rp316,38 triliun.
Dari proyek-proyek besar di sektor transportasi hingga utilitas, KPBU telah membuktikan diri sebagai solusi efektif yang mampu membawa dampak nyata bagi masyarakat. Namun, perjalanan KPBU tentu bukan tanpa tantangan.
Direktur Pengelolaan Dukungan Pemerintah dan Pembiayaan Infrastruktur (PDPPI) Kementerian Keuangan, Brahmantio Isdijoso, ketika dihubungi menyampaikan meski banyak capaian telah diraih, tantangan besar masih menghadang di depan.
Financing gap atau kesenjangan antara kebutuhan pembiayaan infrastruktur dan dana yang tersedia semakin melebar”. Di sisi lain, tuntutan untuk menerapkan proyek infrastruktur yang berkelanjutan sesuai pedoman Environmental Social Governance (ESG) juga semakin meningkat, kata Brahmantio Isdijoso.