Jakarta Industri vape Indonesia, khususnya segmen open system, tengah berada di titik krusial. Di tengah perlambatan daya beli masyarakat, pelaku usaha lokal juga menghadapi tekanan dari kebijakan fiskal berupa kenaikan cukai yang belum sepenuhnya mencerminkan kondisi di lapangan.
Data ARVINDO menunjukkan lebih dari 150 toko vape lokal tutup setiap tahunnya. Di balik angka ini, ada ribuan pekerja yang kehilangan penghasilan dan ekosistem bisnis lokal yang makin terhimpit.
Industri ini sendiri menyerap lebih dari 50.000 tenaga kerja di seluruh Indonesia—dari toko ritel, manufaktur liquid, hingga distribusi dan pelayanan.Salah satu penyebab utama tutupnya toko-toko ini adalah membanjirnya produk vape ilegal yang beredar luas di media sosial dan e-commerce.
Produk-produk ini tidak membayar cukai, dijual jauh di bawah harga pasar, dan tidak melewati pengawasan yang semestinya. Ini adalah efek domino dari kebijakan kenaikan cukai yang terlalu tinggi, yang membuat harga produk legal makin mahal, sehingga konsumen beralih ke pasar gelap.
Padahal, segmen open system adalah tulang punggung industri vape lokal. Di sinilah para produsen liquid dalam negeri, toko-toko independen, teknisi, hingga komunitas kreatif tumbuh dan berkembang.
Saat ini, pelaku lokal masih menjadi tuan rumah di negeri sendiri-menguasai ekosistem dari hulu ke hilir. Tapi posisi ini tidak otomatis abadi. Jika tidak dijaga dengan arah kebijakan yang adil dan proporsional, maka peran sebagai tuan rumah bisa hilang, digantikan oleh dominasi produk impor dan korporasi besar.