wmhg.org – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan komitmennya untuk memperketat pengawasan terhadap industri fintech peer to peer (P2P) lending di Indonesia.
Langkah ini diambil untuk mencegah terjadinya krisis serupa yang pernah dialami oleh industri fintech di China.
Direktur Pengaturan Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK Irfan Sitanggang menyadari potensi besar fintech dalam mendorong inklusi keuangan, namun juga menekankan pentingnya menjaga stabilitas sistem keuangan.
Kami akan terus melakukan evaluasi dan adaptasi terhadap regulasi yang ada, agar fintech di Indonesia dapat tumbuh secara sehat dan berkelanjutan, ujar Irfan dalam diskusi Ruang Gagasan bertajuk \’Modal Usaha Anti Ribet, di sini Infonya\’ yang diselenggarakan Core Indonesia bekerjasama dengan wmhg.org pada Kamis (25/7/2024).
Makanya kata dia berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) pada 12 Januari 2023 turut memperkuat peran dan OJK sekaligus membawa era baru bagi industri fintech lending di Indonesia.
Saat ini kami OJK sedang menyusun UU turunan dari P2SK dalam bentuk POJK, kata Irfan.
Irfan pun mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk bekerja sama dalam mengembangkan industri fintech di Indonesia. Melalui kolaborasi yang erat, diharapkan fintech dapat memberikan kontribusi positif bagi perekonomian nasional tanpa mengorbankan stabilitas sistem keuangan.
Kami tidak ingin fintech di Indonesia bernasib sama seperti di China. Oleh karena itu, perlu adanya sinergi antara regulator, pelaku industri, dan masyarakat, paparnya.
Pihaknya menegaskan bahwa perlindungan konsumen merupakan salah satu fokus utama dalam pengawasan industri fintech. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan data pribadi, penipuan, dan praktik bisnis yang tidak sehat lainnya.
Kami berkomitmen untuk menciptakan lingkungan bisnis yang adil dan transparan bagi konsumen fintech, tegas.
Asal tahu saja, ketiadaan regulasi yang jelas di awal perkembangan industri fintech di China telah mengakibatkan ribuan perusahaan teknologi finansial gulung tikar.
Banyaknya perusahaan fintech yang bermunculan tanpa pengawasan ketat menyebabkan ketidakstabilan pasar dan kerugian besar bagi konsumen.
Pemerintah China akhirnya mengeluarkan regulasi yang lebih ketat setelah terjadinya krisis, namun langkah ini dinilai sudah terlambat untuk menyelamatkan banyak perusahaan.
Meski demikian ribuan konsumen di China mengalami kerugian finansial akibat penutupan massal perusahaan fintech. Ketiadaan perlindungan konsumen dan pengawasan yang lemah membuat banyak orang kehilangan uang tabungan dan investasi.
Kasus penipuan dan pelanggaran data pribadi juga marak terjadi. Pemerintah China kini tengah berupaya untuk mengembalikan kepercayaan konsumen dan memperbaiki citra industri fintech.