Jakarta Kondisi angkutan penyeberangan di Indonesia semakin memprihatinkan. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya perusahaan yang tidak bisa membayar gaji karyawan tepat waktu, bahkan terpaksa harus gulung tikar ataupun dijual.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (Gapasdap)Â Khoiri Soetomo mengatakan kondisi iklim usaha yang kurang bagus menjadi penyebabnya.
Dia menuturkan jika tarif yang berlaku saat ini masih tertinggal sebesar 31,8 persen dari perhitungan HPP yang telah dihitung bersama-sama antara Kemenhub, Gapasdap, PT ASDP, perwakilan konsumen dan juga Kemenko Marvest.
Kondisi tersebut diperparah dengan kenaikan nilai tukar kurs dollar yang hingga saat ini masih diatas Rp 16.000.
Padahal 70% komponen biaya angkutan penyeberangan sangat dipengaruhi kurs dollar, seperti biaya perawatan, spare part, biaya doking, alat-alat keselamatan dan sebagainya, katanya.
Perhitungan Tarif
Menurut dia, pehitungan tarif yang saat ini masih tertinggal 31,8%, dihitung pada tahun 2019 dimana saat itu nilai kurs dollar atas rupiah masih Rp. 13.391 per dollar. Belum lagi bicara kenaikan biaya UMR setiap tahun, inflasi yg terjadi dari tahun 2019 sampai dengan sekarang, katanya.
Kondisi ini semakin parah karena hari operasi kapal yang rata-rata hanya beroperasi sebanyak 30 persen sampai dengan 40 persen saja setiap bulannya akibat dari kurangnya dermaga dihampir semua lintas penyeberangan komersial.
Semua itu, katanya, akan menyulitkan pengusaha dalam menutup biaya operasional yang ada, terutama fix cost yang tetap muncul ketika kapal tidak beroperasi