Jakarta – Bank-bank sentral di kawasan Asia rengah menghadapi dilema memasuki 2025. Kenaikan nilai Dolar AS (USD) yang tak henti-hentinya telah membuat mata uang Asia seperti Yen Jepang, Won Korea Selatan, Yuan Tiongkok, hingga Rupee India merosot ke posisi terendah dalam beberapa tahun.
Melansir CNBC International, Jumat (10/1/2025) Dolar AS telah terapresiasi tajam sekitar 5,39% sejak Donald Trump memenangkan pemilihan presiden AS 2024.
Sebagian alasan di balik kekuatan dolar AS adalah kebijakan yang dijanjikan Trump di jalur kampanye, termasuk tarif dan pemotongan pajak, yang dilihat oleh para ekonom sebagai inflasi.
Pejabat Federal Reserve pada pertemuan bulan Desember juga menyatakan kekhawatiran tentang inflasi dan dampak yang dapat ditimbulkan oleh kebijakan Presiden terpilih Donald Trump, yang mengindikasikan bahwa mereka akan bergerak lebih lambat dalam pemangkasan suku bunga.
Ahli strategi pasar di pialang daring Tiger Brokers, James Ooi memperkirakan Dolar AS yang kuat akan mempersulit bank sentral Asia untuk mengelola ekonomi mereka.
Dolar AS yang lebih kuat kemungkinan akan menimbulkan tantangan bagi bank sentral di Asia, dengan meningkatkan tekanan inflasi melalui biaya impor yang lebih tinggi dan membebani cadangan devisa mereka jika mencoba mendukung mata uang lokal melalui intervensi, kata Ooi.
Jika suatu negara bergulat dengan inflasi tinggi dan mata uang yang terdepresiasi, menurunkan suku bunga untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dapat menjadi kontraproduktif, tambah Ooi.
Yuan Tiongkok Sentuh Level Terendah 16 Bulan
Yuan domestik Tiongkok telah mencapai titik terendah dalam 16 bulan di angka 7,3361 terhadap Dolas AS pada 7 Januari 2025, tertekan oleh meningkatnya imbal hasil Treasury AS dan USD yang lebih kuat.
Direktur riset ekuitas untuk Asia di Morningstar, Lorraine Tan melihat USD yang lebih kuat akan membatasi kemampuan Bank Rakyat Tiongkok untuk menurunkan suku bunga tanpa risiko peningkatan arus keluar modal, serta membantu ekonomi domestik untuk memiliki lebih banyak fleksibilitas moneter.
Adapu Citi Wealth, dalam laporan prospek 2025-nya mengatakan depresiasi tajam mata uang Tiongkok dapat merugikan ekonomi yang secara langsung bersaing dengan atau mengekspor ke Tiongkok, seperti Korea Selatan, Taiwan, dan negara-negara lain di Asia Tenggara.