Jakarta – Youth Energy & Environment Council (YEC) mengungkapkan tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia dalam meredam polusi udara, terutama di kota-kota besar, yaitu tingginya penggunaan energi fossil, salah satunya melalui penggunaan BBM.
Anggota advisory board YEC, Rachmat Kaimuddin mencatat 86% penggunaan energi di Indonesia masih menggunakan bahan bakar fossil, yang sebagian besar mencakup batu bara untuk sumber listrik, dan BBM untuk transportasi.
Rachmat, yang juga menjabat Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Marves, mengungkapkan sumber polusi udara di dalam negeri tidak berasal dari batu bara, melainkan asap knalpot kendaraan.
Memang PR kita di Indonesia cukup besar, bahwa karena kita saat ini berada dalam rezim melakukan subsidi BBM, membebankan tugas ini ke pertamina (produksi BBM). Kasarnya karena duitnya sedikit, maka barang yang diproduksi bukan yang berkualitas tinggi, ujar Rachmat dalam kegiatan Diskusi Publik YEC di Jakarta, Rabu (28/8/2024).
Rachmat memaparkan, BBM bersubsidi di Indonesia mengandung kadar sulfur yang cukup tinggi, misalnya kalau untuk kadar polusi tertentu euro 5.
Emisi gas buang merupakan penyebab buruknya kualitas udara, mayoritas BBM beredar belum memenuhi standar sulfur euro 4 (50 ppm), ujar dia.
Sementara itu, di Indonesia, hari ini negara itu baru mampu memberi tugas ke Pertamina untuk subsidi pertalite itu 500 ppm. Adapun biosolar 48 2.500 ppm. Jadi ini menjadi PR kita untuk mendorong Pertamina supaya mereka bisa menyediakan BBM yang lebih bersih, imbuhnya.Â
Selain itu, penyaluran BBM bersubsidi juga tidak tepat sasaran, di mana 60% bensin bersubsidi dinikmati oleh masyarakat berpenghasilan atas.Â
80-95% BBM penyaluran BBM bersubsidi saat ini belum tepat sasaran, terang Rachmat dalam paparannya.