Jakarta Ada tangis pertama bayi terdengar, perasaan lega dan syukur memenuhi hati semua orang di atas kapal perintis di belahan timur Tanah Air. Mereka baru saja menjadi saksi dari kelahiran yang luar biasa—kelahiran seorang putri yang memulai hidupnya di atas samudera, ditemani oleh ketulusan, kebersamaan dan harapan.
Pada 24 Agustus 2024, pukul 18.13 WIT, di atas gelombang laut yang memisahkan Tam, Tayando, dan Tual, sebuah keajaiban terjadi. Di tengah pelayaran KMP Tanjung Madlahar, lahirlah seorang putri yang kelak akan dikenal sebagai Ira Puspadewi Tatroman.
Kelahirannya bukan hanya sebuah momen yang penuh haru, tetapi juga simbol dari ketangguhan, keberanian, dan harapan yang tak pernah padam, bahkan di tengah tantangan yang tampaknya tak terduga. Perjalanan panjang dan menegangkan Ira bermula ketika sang ibu, setelah empat hari dalam penanganan medis di Tam tanpa kemajuan berarti dalam proses persalinan, dirujuk ke Tual.
Dengan waktu yang terus berjalan dan kondisi yang mendesak, keputusan untuk melakukan perjalanan ini diambil—sebuah keputusan yang penuh dengan keyakinan, meskipun risiko melahirkan di tengah lautan membayangi. Sekitar satu jam setelah meninggalkan dermaga Tam menuju Tayando, momen yang dinanti tiba. Di tengah desiran angin laut dan deru mesin kapal, sang ibu mulai merasakan kontraksi yang semakin kuat.
Tak ada rumah sakit, tak ada fasilitas yang lengkap—hanya kapal yang sedang mengarungi lautan. Namun, dalam keterbatasan itulah, kekuatan manusiawi dan solidaritas mulai bersinar.
Di ruang yang sempit di atas kapal, sekelompok orang yang terdiri dari perawat, bidan, dan para awak kapal, khususnya Mualim 1 dan 2, bersatu padu dalam misi mulia ini. Dengan ketenangan dan profesionalisme, mereka membantu proses persalinan yang berjalan dengan lancar.
“Tak ada rasa panik, hanya ada fokus dan semangat untuk memastikan bahwa ibu dan bayinya selamat,” kata nakhoda kapal Kapten Monar Ishak Nauli.