Jakarta Keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau cukai rokok pada tahun 2025 mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk kalangan ekonom, salah satunya adalah Chandra Fajri Ananda.
Ia menilai langkah pemerintah ini patut diapresiasi karena memberikan ruang lebih bagi industri tembakau untuk berkontribusi pada penerimaan cukai dan penyerapan tenaga kerja.
Prof. Chandra mengungkapkan bahwa kenaikan cukai yang berlebihan dalam beberapa tahun terakhir, terutama yang mencapai dua digit, justru berdampak negatif terhadap pertumbuhan penerimaan negara dari CHT.
Dengan pendekatan Kurva Laffer, kenaikan cukai sudah melebihi ambang batas. Dengan kata lain, jika tarif cukai terus mengalami kenaikan, maka penerimaan negara dari cukai justru mengalami penurunan, ujarnya.
Menurutnya, kebijakan ini juga berpotensi mengurangi penyerapan tenaga kerja di industri tembakau, termasuk pada rantai pasok dan distribusi.
Di sisi lain, dia menghimbau bahwa tidak adanya kenaikan CHT pada 2025 jangan sampai diikuti oleh kenaikan tarif cukai yang drastis pada 2026.
“Kenaikan tarif cukai (hasil tembakau) di masa depan tentu harus mempertimbangkan variabel-variabel lain, tidak hanya dari sisi kesehatan saja. Variabel lain tersebut antara lain daya beli, pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pendapatan per kapita masyarakat,” tegasnya.
Chandra juga menggarisbawahi pentingnya percepatan pengesahan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai dasar pelaksanaan keputusan pemerintah yang sudah disepakati dalam UU APBN 2025 mengenai tidak adanya kenaikan Cukai Hasil Tembakau.
“PMK diharapkan dapat diterbitkan (segera) untuk untuk dasar pelaksanaan dan kepastian berusaha, ucapnya.