Jakarta Di tengah upaya pemerintah memberikan berbagai insentif pajak imbas kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% mulai Januari 2025, pemerintah juga mempertimbangkan penerapan PPN Multitarif sebagai bagian dari reformasi sistem perpajakan dan meningkatkan penerimaan negara untuk mendukung perekonomian nasional.
PPN Multitarif memungkinkan tarif pajak yang berbeda diterapkan pada berbagai jenis barang dan jasa, disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan nilai ekonominya. Kebijakan ini dapat menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dengan membedakan tarif berdasarkan jenis dan kategori barang atau jasa. Langkah ini dapat meningkatkan penerimaan negara tanpa membebani masyarakat berpenghasilan rendah, sekaligus menekan ketimpangan ekonomi.
Pengamat Perpajakan, Yustinus Prastowo menjelaskan bahwa skema multitarif PPN sebenarnya sudah mengemuka sejak penyusunan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Waktu itu mau multitarif, multirate mencontoh banyak negara maju agar fleksibel, kata Yustinus Prastowo dalam diskusi bertajuk \’Wacana PPN 12%: Solusi Fiskal atau Beban Baru Bagi Masyarakat beberapa waktu lalu.
Tujuan penerapan PPN Multitarif ini untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan, terutama antara masyarakat kaya dan miskin. Prastowo mencontohkan di sektor jasa makanan, kesehatan dan pendidikan yang masih kurang berkeadilan.
Rela nggak yang makan daging wagyu 1 porsi 5 juta dengan yang makan sate madura 1 porsi 10 ribu sama-sama enggak bayar pajak? Nggak rela kan? Ada 2 anak, satunya miskin dia masuk sekolah bersubsidi, satunya sekolah di sekolah internasional, sama-sama bebas pajak. Ada 2 ibu-ibu, yang satu ke puskesmas sakit asam urat, ditanggung BPJS. Satunya ibu-ibu sosialita, estetik, operasi macam-macam, sama-sama enggak kena pajak. Adil enggak? Enggak adil. Maka waktu itu, kita mau multitarif. Biar beras premium dan daging premium bisa dikenai pajak, kata Prastowo.
Penerapan Multitarif Perlu Kesiapan Administrasi Perpajakan
Sayangnya penerapan PPN Multitarif tidak jadi dimasukkan, pasal 7A UU HPP tidak jadi direvisi. Saat itu, para pakar berpandangan penerapan PPN Multitarif dapat dilakukan secara bertahap dengan syarat administrasi sudah lebih mumpuni, tidak bisa tiba-tiba karena akan berbahaya.
Waktu itu perdebatannya, boleh nggak pasalnya tetap ditulis (UU HPP)? Implementasinya bertahap atau nanti dikasih waktu? Karena kalau nggak ditulis, khawatirnya kita butuh nggak punya cantolan (dasar hukum). Keputusan waktu itu enggak usah. Kejadian sekarang, kita ribut-ribut 12 persen, mau nyantolin (pajak) barang mewah di mana nggak ada pasalnya sekarang, jelas Prastowo.
Menurut Prastowo belum adanya dasar hukum PPN Multitarif sejak penyusunan awal UU HPP bisa menjadi pelajaran bersama. Terlepas dari maksud dan tujuannya, upaya pemerintah dan DPR dalam meningkatkan penerimaan negara sudah banyak. Mulai dari memasukkan pajak karbon, menaikan tarif PPh orang super kaya, melebarkan gap pajak penghasilan karyawan dan membebaskan pajak UMKM yang omsetnya tidak lebih dari Rp500 juta.
Sekarang kalau mau tetap naik, bisa diperkuat barang-barang yang mau di support untuk masyarakat bawah, diperlebar fasilitasnya, insentifnya yang bisa dikonsumsi masyarakat. Mari kita cari jalan tengah terbaik, bukan yang ideal memang, tapi jalan tengah terbaik, tutur Prastowo.