Jakarta – Donald Trump akan dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) pada 20 Januari 2025 pukul 12 siang waktu setempat. Ia menjadi Presiden AS ke-47. Sebelum masuk di dunia politik, Donald Trump memiliki perjalanan panjang di dunia bisnis yang mencakup berbagai sektor, termasuk real estate, hiburan, dan branding.
Sebagai pengusaha, ia sudah terbiasa mengelola utang. Namun utang pemerintah AS yang akan ia kelola selama empat tahun ke depan sangat berbeda dengan utang perusahaan yang selalu ia kelola.
Sebagai pengembang real estat, Trump sangat bergantung pada pinjaman untuk mendanai proyek. Kesulitan membayar utang menyebabkan beberapa bisnisnya bangkrut.
Namun ia melawan balik dengan menghapus beberapa pinjaman, membiayai kembali pinjaman lainnya, mencari pemberi pinjaman baru, dan mengubah model bisnisnya.
Utang AS yang akan diwarisi kepada Trump sebagai presiden ke-47 adalah masalah yang sama sekali berbeda.
Utang Pemerintah AS melampaui USD 36 triliun saat ia menjabat, naik dari USD 20 triliun saat ia memulai masa jabatan pertamanya pada 2017.
Sebagai persentase dari PDB, utang yang dimiliki publik telah melonjak dari 75% pada tahun 2017 menjadi 96% saat ini. Angka-angka ini akan semakin buruk.
Pembiayaan Kembali
Pembiayaan kembali bukanlah suatu pilihan dan kebangkrutan pemerintah federal tidak terpikirkan.
Dikutip dari Yahoo Finance, Senin (20/1/2025), sejak September lalu, Bank Sentral AS atau Federal Reserve (Fed) telah memangkas suku bunga jangka pendek sebesar satu poin persentase penuh, namun suku bunga jangka panjang telah naik sebesar satu poin penuh.
Ini sangat tidak biasa, tulis Torsten Sløk, kepala ekonom di perusahaan ekuitas swasta Apollo, dalam buletinnya pada 7 Januari.
Salah satu faktor di balik kenaikan suku bunga pinjaman jangka panjang bisa jadi adalah pinjaman tanpa henti oleh Departemen Keuangan AS. Jika peminjam menerbitkan lebih banyak utang daripada yang dapat diserap investor, suku bunga harus naik.
Suku bunga juga bisa naik karena kekhawatiran tentang inflasi di masa mendatang. Apa pun alasannya, suku bunga yang lebih tinggi berarti biaya pinjaman yang lebih tinggi bagi pembeli rumah dan mobil, dan bagi bisnis.
Tentu saja, Pemerintah AS juga harus membayar lebih banyak, yang membuat kesulitan fiskalnya semakin parah.