Jakarta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang mengatur tentang produk tembakau dan rokok elektronik menuai perdebatan di kalangan pelaku usaha, pekerja, petani, hingga masyarakat. Aturan ini diklaim diterbitkan secara mendadak tanpa melibatkan dan tidak mengakomodir masukan dari banyak pihak terkait, termasuk sejumlah Kementerian dan Lembaga yang berperan penting dalam sektor ini.
Ketiadaan diskusi terbuka dan Forum Group Discussion (FGD) yang dijanjikan menyebabkan aturan ini menjadi kabur dan sulit dipahami oleh publik. Bahkan dalam skema yang dirancang oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), aturan dari PP tersebut pun dikebut untuk diselesaikan pada pekan kedua bulan September ini.
Aturan turunan yang masih dalam bentuk Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) itu ditengarai akan memaksa produk tembakau dan rokok elektronik untuk menggunakan kemasan polos (plain packaging) yang mengacu pada ketentuan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Mengingat penyusunan beleid yang masih minim pelibatan publik, Komisi IX DPR RI mengkritisi langkah pemerintah yang tidak secara utuh melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk DPR, dalam penyusunan aturan turunan tersebut. Aspirasi itu juga disampaikan dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Kemenkes, Kamis, 29 Agustus 2024 lalu.
Selain minimnya pelibatan publik, penerbitan PP 28/2024 pun dinilai masih luput dalam menjawab beberapa kontroversi yang hadir dalam aturannya. Anggota Fraksi Golkar Komisi IX DPR RI, Dewi Asmara, menyoroti bahwa aturan ini telah luput dalam mempertimbangkan aspek tenaga kerja dan cukai yang menyertai produk tembakau dan rokok elektronik.
“Bahkan dari cukai rokok itu saja, sekian persennya pun masuk dalam anggaran kesehatan. Justru hal ini tidak dipertimbangkan. Inikan menjadi ironis,” kata Dewi dalam Raker di Komisi IX DPR RI.