Jakarta Pemerintah Indonesia dan Malaysia bekerjasama dengan FAO (Organisasi PBB untuk Pangan dan Pertanian) akan menyusun suatu standar keberlanjutan (sustainability) global untuk minyak sawit. Ini sebagai upaya Indonesia dan Malaysia sebagai dua negara produsen minyak sawit terbesar dunia untuk membuat standar keberlanjutan global di luar Uni Eropa.
“Kita telah berdiskusi dengan FAO untuk melakukan studi dalam rangka menyusun suatu standar sustainability untuk palm oil dan cocconut oil,” kata Wakil Menteri Luar Negeri RI Arief Havas Oegroseno
Havas mengatakan, standar keberlanjutan global yang akan disusun Indonesia dan Malaysia bersama FAO ini sebagai jawaban atas berbagai tuntutan dan tekanan khususnya dari Uni Eropa kepada industri minyak sawit.
“Nanti kita bisa menyampaikan kepada EU bahwa kita sudah memiliki standar sustainability global di tingkat FAO. Jadi bukan hanya EU yang punya standar, tetapi juga ada standar global,” kata Havas.
Havas yang pernah menjabat sebagai Duta Besar RI di Jerman ini mengatakan, dia sudah meminta kepada CPOPC (Organisasi Negara-Negara Eksporter Minyak Sawit) untuk juga bisa merumuskan standar keberlanjutan global yang bisa dibawa ke tingkat FAO.
“Sehingga kita memiliki standar keberlanjutan global dengan tingkat keberterimaan yang lebih luas,” kata Havas.
Dalam paparannya di depan ratusan peserta Konferensi Internasional RSI, Havas juga menjelaskan alasan ditundanya pemberlakuan EUDR (Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa).
“Uni Eropa tidak pernah menjelaskan secara terbuka alasan penundaan tersebut. Namun dari diskusi saya dengan sejumlah di Uni Eropa, ada lima alasan penundaan tersebut,” katanya.