Jakarta – DPR kritik pernyataan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), yang menyebut tidak semua masukan terkait kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek bisa diakomodasi.
Sekali pun regulasi tersebut berpotensi memicu gelombang PHK, menggerus penerimaan negara, dan telah mendapatkan penolakan banyak pihak. Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PAN, Saleh Daulay menyoroti pentingnya keterlibatan semua pihak dalam penyusunan regulasi.
Dia menegaskan setiap kebijakan yang diambil harus mempertimbangkan semua masukan stakeholder, termasuk asosiasi industri dan pihak terdampak lainnya.
Regulasi ini bermula dari aturan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang mengalami penundaan lama karena kami ingin memastikan bahwa semua pihak, baik pengusaha maupun pihak lain, tidak merasa dirugikan, kata Saleh dalam keterangan tertulis, Selasa (1/10/2024).
Saleh pun menekankan penting untuk mendengarkan aspirasi dari berbagai pihak sebelum merumuskan kebijakan yang bersifat mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena itu, kalau mau membuat peraturan libatkan semua pihak. Kami minta jangan egois, tegasnya.
Ia juga mengungkapkan dalam pembuatan detail regulasi, Kemenkes lebih memilih menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) ketimbang Undang-Undang (UU). Padahal jika diatur detail UU, DPR dapat mengajak semua pihak terdampak untuk terlibat dalam penyusunan regulasi. Beda halnya dengan PP yang penyusunannya tidak melibatkan parlemen.
Imbasnya, kata dia, PP 28/2024 maupun Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) jadi sumber sengketa saat ini. Padahal seyogyanya legislator tidak ingin mengabaikan aspek kesehatan, tetapi juga tidak ingin mengabaikan aspek ekonomi.
Selain itu, ia menggarisbawahi bahwa Kemenkes bukanlah satu-satunya kementerian yang terlibat dalam pengaturan tembakau. Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) juga harus dilibatkan dalam proses penyusunan regulasi ini.