Jakarta Kurs Rupiah ditutup melemah 215 poin ke level 16.312 per Dolar Amerika Serikat (USD) pada penutupan perdagangan Kamis (19/12/2024) sore. Direktur PT.Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi memperkirakan nilai tukar Rupiah bisa menembus 16.500 per USD pada akhir Desember 2024.
Rupiah pagi semakin terdepresiasi begitu tajam, arah menuju 16.500 di akhir tahun kemungkinan terjadi, ujar Ibrahim dalam keterangannya.
Dari sentimen internal, Ibrahim menilai paket kebijakan insentif yang diluncurkan pemerintah tidak cukup untuk mengurangi dampak kenaikan PPN menjadi 12 persen.
Saat ini, permasalahan yang muncul di industri dalam negeri menurunnya permintaan akibat menipisnya jumlah kelas menengah yang merupakan pendorong konsumsi dalam negeri.
Selain itu, periode pemberian insentif yang terlalu pendek, misalnya hanya dua bulan untuk diskon tarif listrik sebesar 50 persen. Selain itu, insentif yang diberikan untuk industri padat karya juga diperkirakan belum cukup untuk meredam dampak kenaikan PPN tersebut.
Pasalnya, sudah terlalu banyak sektor industri yang terpuruk, seperti industri tekstil dan industri alas kaki, ujar Ibrahim.
Selain insentif, diperlukan juga kebijakan yang dapat melindungi produk-produk dalam negeri agar permintaannya tidak semakin menurun. Terutama dari serbuan barang-barang impor dari China banyak yang dibanderol separuh atau bahkan kurang dari separuh harga produk dalam negeri.
Saya menghimbau agar pemerintah untuk memperketat kontrol terhadap produk-produk impor baik yang legal maupun ilegal terutama dari China, agar produk dalam negeri masih dapat bersaing, bebernya.
Dari eksternal, langka Bank Sentral AS The Federal Reserve untuk memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin ke kisaran 4,25 persen hingga 4,50 persen yang telah lama ditunggu-tunggu. Namun, kondisi ini mengindikasikan akan memperlambat laju siklus pelonggaran kebijakan moneternya.
Selain itu, kebijakan proteksionisme uang diterapkan Presiden Donald Trump justru menimbulkan ketegangan geopolitik hingga. Kebijakan Trump tersebut diyakini akan membuat ekonomi global tumbuh lebih lambat di tahun depan.