Jakarta Harga cabai naik di pasaran tengah menjadi sorotan beberapa waktu belakangan. Bahkan, angka tertinggi mencapai Rp 130.000 per kilogram di Kalimantan Timur.
Ketua Asosiasi Champion Cabai Indonesia, Tunov Mondro, mengungkapkan sejumlah faktor yang mempengaruhi kenaikan harga cabai di tanah air, yang sebagian besar berkaitan dengan kondisi alam dan pola tanam yang tidak menentu.
Tunov menjelaskan bahwa banjir dan tergenangnya tanaman cabai akibat curah hujan yang tinggi menjadi salah satu penyebab utama. Tanaman cabai, yang sensitif terhadap kelembaban, dapat mengalami kerusakan serius bila terendam air lebih dari 72 jam, menyebabkan tanaman layu bahkan mati.
Cuaca ekstrem juga berdampak pada penurunan produktivitas cabai. Hujan yang disertai dengan angin kencang dapat menyebabkan bunga cabai rontok sebelum sempat berkembang menjadi buah.
Hal ini semakin diperparah oleh harga cabai yang anjlok pada tahun 2024, yang membuat sebagian petani beralih ke komoditas lain yang lebih menguntungkan.
Imbas harga jatuh tahun 2024 yang berkepanjangan akibatnya petani mengganti komoditas lain, kata Tunov kepada Senin (13/1/2025).
Selain itu, fenomena peralihan masa panen antara satu sentra produksi dengan yang lainnya turut menyebabkan ketidakseimbangan pasokan cabai di pasar, yang berujung pada lonjakan harga.
Kemudian kondisi cuaca yang tidak menentu, seperti hujan yang turun sepanjang hari di sentra produksi, juga berpengaruh pada ketidakpastian jadwal panen. Ketika hujan terus-menerus mengguyur, petani tidak dapat panen tepat waktu, sehingga stok cabai di pasar mengalami fluktuasi tinggi. Sistem stok cabai sangat bergantung pada pola panen harian, yang jika terganggu bisa langsung mempengaruhi pasokan dan harga.
Jika dilihat dari perbandingan harga cabai rawit merah pada tahun 2024 dengan tahun sebelumnya, tren fluktuasi harga terlihat sangat signifikan, terutama pada kuartal pertama (Q1) yang umumnya mengalami kenaikan harga.