Jakarta – Di balik gemerlap aktivitas kota dan rutinitas rumah tangga yang berjalan seperti biasa, tersimpan perjuangan sehari-hari yang tak kasat mata.
Kenaikan harga bahan pokok, biaya hidup yang makin tinggi, dan ketidakpastian ekonomi memaksa banyak keluarga menyesuaikan gaya hidup. Tiga perempuan muda, Yanti di Jakarta, Dwi di Surabaya, dan Alvi di Mojokerto, berbagi kisah nyata mereka dalam menghadapi era serba mahal.
Yanti (29), ibu rumah tangga yang tinggal di Jakarta, menggantungkan kehidupan keluarga pada penghasilan sang suami yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di salah satu lembaga kementerian. Meski PNS kerap dianggap memiliki stabilitas finansial, realitanya tak semudah yang dibayangkan.
Sebenarnya keuangan kami pas-pasan juga. Untungnya, gaya hidup kami cukup, dan kami masih punya tabungan,” tutur Yanti kepada www.wmhg.org, Kamis (17/4/2025).
Menurut Yanti, stabilitas itu belakangan mulai goyah ketika tunjangan hari raya (THR) dan tunjangan kinerja (tukin) yang biasa diandalkan untuk menyuntik pengeluaran, terlambat cair. Tanpa pilihan lain, dana darurat yang selama ini disisihkan harus digunakan untuk memenuhi kebutuhan harian.
Iya, akhirnya terpaksa pakai dana darurat dulu. Enggak bisa nunggu cair, karena kebutuhan tetap jalan terus,” ujarnya.
Di sisi lain, kenaikan harga kebutuhan pokok menjadi tantangan tersendiri. Yanti menyiasatinya dengan mengganti produk rumah tangga seperti sabun, shampo, dan detergen ke merek yang lebih murah selama kualitasnya masih bisa diterima.
Tapi kalau untuk kebutuhan makan, itu tetap jadi pengeluaran terbesar. Mau hemat juga susah, karena kebutuhan pokok enggak bisa dikurang-kurangin,” katanya. Ia bersyukur, setidaknya biaya pendidikan anak belum naik.