Jakarta – Di tengah tekanan ekonomi yang semakin nyata, masyarakat Indonesia dihadapkan pada realitas baru dalam mengelola keuangan. Tabungan yang menjadi tolok ukur keamanan finansial, belakangan harus rela tergerus untuk kebutuhan harian.
Sementara itu, layanan bayar nanti (paylater) yang awalnya menjanjikan fleksibilitas justru menjadi pintu masuk ke dalam jeratan utang konsumtif. Fenomena ini menjadi potret nyata dari seni bertahan hidup di era serba mahal.
Ketika harga kebutuhan pokok melonjak sementara penghasilan tak kunjung naik, banyak orang mencari cara bertahan dengan segala yang tersedia, entah itu mengandalkan simpanan masa depan atau memanfaatkan fasilitas cicilan instan. Di balik kemudahan teknologi finansial dan fleksibilitas pembayaran, tersembunyi krisis yang menggerogoti keamanan finansial dan potensi masa depan masyarakat.
Perencana keuangan Rista Zwestika CFP, WMI menyoroti fenomena ini sebagai peringatan dini atas rapuhnya ketahanan keuangan sebagian besar masyarakat. Menurut dia, kecenderungan menguras tabungan yang semestinya digunakan untuk hal-hal darurat menandakan kondisi ekonomi yang tidak ideal.
Banyak orang terpaksa mengandalkan simpanan mereka untuk kebutuhan pokok, yang seharusnya ditopang oleh pendapatan tetap. Menggerogoti tabungan yang seharusnya menjadi bantalan untuk masa depan atau kejadian tak terduga menunjukkan tekanan ekonomi yang signifikan,” ujar Rista kepada www.wmhg.org, Kamis (17/4/2025).
Hal yang tak kalah memprihatinkan adalah ketergantungan masyarakat terhadap layanan paylater sebagai solusi instan. Rista mewanti-wanti, layanan ini menyimpan risiko tinggi terutama jika digunakan secara konsumtif.
“Ketergantungan pada paylater untuk kebutuhan sehari-hari sangat berisiko. Meskipun terlihat sebagai solusi instan, bunga dan biaya keterlambatan dapat menumpuk dengan cepat, menjerumuskan seseorang ke dalam lingkaran utang yang sulit diatasi, ujar dia.