Jakarta – Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan (Sustainable Aviation Fuel/SAF) semakin diakui sebagai solusi utama untuk mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) dalam sektor penerbangan internasional. Bahan bakar tersebut berpotensi besar dalam mendukung pencapaian target pengurangan emisi global.
Dalam upaya tersebut, peran aktif semua pemangku kepentingan, termasuk Pemerintah, produsen bahan bakar, produsen pesawat, maskapai, bandara, investor, dan lembaga keuangan sangat penting.
Saat mempresentasikan materi berjudul “Indonesia’s Potential for Sustainable Aviation Fuel (SAF) Development pada hari kedua seminar “2024 ICAO APAC Regional Seminar on Environment”, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Dida Gardera menyampaikan sejumlah poin utama.
Pertama, mengenai pasar dan potensi Indonesia. Negara ini merupakan salah satu pasar industri penerbangan terbesar di dunia dengan 251 bandara yang ada dan 50 bandara baru dalam rencana. Sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar global, Indonesia memproduksi 3,9 juta ton used cooking oil (UCO) pada 2023 dan berencana memproduksi 238 juta liter SAF per tahun pada 2026.
“Poin kedua adalah manfaat dan tantangan SAF. Bahan bakar itu dapat membantu mengurangi emisi gas rumah kaca dan dianggap sebagai energi bersih. Namun, penggunaannya secara komersial masih menghadapi tantangan, seperti keterbatasan bahan baku, biaya tinggi, dan infrastruktur belum memadai,” ujar Deputi Dida seperti dikutip dari keterangan resmi, Jumat (23/8/2024).
Ketiga, mengenai uji coba SAF di Indonesia. Pengujian SAF telah dilakukan di Indonesia sejak 2020 dengan hasil uji coba yang berhasil termasuk co-process J2.4 dan uji terbang pada berbagai jenis pesawat. Uji terbang terbaru pada kuartal ketiga 2023 di Garuda Boeing 737-800 menunjukkan tidak adanya perbedaan kinerja dibandingkan bahan bakar fosil konvensional.