Jakarta Dalam laporan East Asia and Pacific Economic Update edisi Oktober 2024, Bank Dunia memprediksi ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,0 persen pada 2024 dan 5,1 persen pada 2025. Lebih jauh, pemerintah telah menetapkan pertumbuhan ekonomi alias Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 8%.
Sejumlah proyeksi pertumbuhan ekonomi memang menggambarkan Indonesia masih lebih baik dibandingkan tingkat pertumbuhan kawasan Asia Pasifik. Pertumbuhan kawasan secara umum diperkirakan berkisar 4,8 persen pada 2024 dan melambat ke 4,4 persen pada 2025.
Meski demikian, proyeksi seputar kondisi ekonomi Indonesia tidak sepenuhnya baik-baik saja. Untuk jangka menengah dan panjang, Bank Dunia menyoroti kondisi industri manufaktur. Sektor manufaktur dalam negeri belakangan sedang tertekan. Selama tiga bulan berturut-turut, Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers’ Index/PMI) Manufaktur Indonesia terkontraksi, yakni sejak Juli hingga September 2024.
Tak hanya itu, kontribusi sektor manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi juga terus menurun. Dalam 10 tahun terakhir, sumbangsih manufaktur menurun dari 21,02 persen dari total PDB (tahun 2014) menjadi 18,52 persen dari total PDB (triwulan II tahun 2024).
Sektor manufaktur dalam negeri juga belum lepas dari badai Pemutusan Hubungan Kerja alias PHK massal. Hal itu tampak dari data Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) yang mencatat sepanjang semester I/2024, terdapat 32.064 pekerja dirumahkan, mengalami peningkatan 21,45% dibandingkan periode sama tahun lalu, melanjutkan tren PHK yang terjadi sejak tahun lalu.Â
Bahkan, gelombang PHK ini disinyalir bakal menerpa industri petrokimia yang perlahan meluas. Pemicu potensial gelombang PHK sektor petrokimia, sebagaimana disebutkan Asosiasi Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas), adalah tingkat utilisasi pabrik petrokimia hulu yang semakin tergerus hingga kisaran 50%.