Jakarta Kontribusi industri sawit untuk devisa negara mencapai USD 9,78 miliar hingga Mei 2024 atau setara 10,01 persen dari ekspor non migas Indonesia. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono mengungkapkan saat ini kinerja ekspor sawit cenderung menurun.
“Sebelumnya 2021, industri sawit sempat menyumbang devisa sebesar USD 34,9 miliar dan naik menjadi USD 37,7 miliar di 2022. Kemudian, penurunan terjadi di terjadi di 2023 menjadi USD 29,54 miliar,” kata Eddy dalam acara Press Tour Belitung 2024, Kontribusi Sawit untuk APBN dan Perekonomian, Selasa (27/8/2024).
Tak hanya itu, Eddy menyebut produksi sawit juga mengalami stagnan dalam 5 tahun terakhir yang disebabkan beberapa faktor beberapa di antaranya cuaca dan telatnya peremajaan.
“Untuk perusahaan faktornya cuaca karena untuk peremajaan mereka rutin melakukan, tetapi untuk perkebunan rakyat yang perlu peremajaan,” jelas Eddy.
Kemudian tantangan lain yang dihadapi industri sawit adalah penurunan ekspor ke China. Hal ini karena adanya penurunan permintaan dari China yang menjadi salah satu importir terbesar Crude Palm Oil (CPO) dari Indonesia.
Menurunnya permintaan ini diakibatkan China yang melirik minyak bunga matahari yang harganya lebih murah dibandingkan minyak sawit. Eddy menambahkan harga yang lebih murah membuat China banyak melakukan pembelian dan ada pengurangan import dari Indonesia. China menjadi importir CPO terbesar dari Indonesia dengan jumlah 7,7 juta ton pada tahun lalu.
“Saya sampaikan bahwa kalau seperti ini terus mencapai 5 juta ton saja cukup berat. Jadi saya minta saran dari mereka apa yang harus kita lakukan,” jelas Eddy.
Eddy menyebut, perlu ada kebijakan pemerintah, yang paling tidak dapat memainkan instrumen fiskal. Artinya pada waktu harga tidak kompetitif bisa turunkan sementara, kemudian setelah menjadi kompetitif kembali, harga bisa dinaikkan lagi.