Jakarta – Penggunaan minyak sawit sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM) terus digenjot Indonesia. Bahkan, upaya tersebut dibuktikan mampu menekan emisi karbon hingga menghemat devisa negara.
Executive Director Sinar Mas Agribusiness and Food, Jesslyne Widjaja menuturkan, permintaan biofuel terus meningkat setiap tahunnya. Meski, implementasinya masih sangat kecil dibandingkan total konsumsi BBM di sektor transportasi.
Menurut saya permintaan biofuel global sudah cukup signifikan saat ini, sekitar 150 juta ton atau lebih, dan masih tumbuh 2-3% per tahun. Namun, ini hanya mencakup sekitar 3-4% dari total konsumsi bahan bakar di sektor transportasi saat ini, kata Jesslyne dalam diskusi di Indonesia International Sustainability (ISF) Forum 2024, di JCC Senayan, Jakarta, dikutip Jumat (6/9/2024).
Dia menerangkan, rata-rata biofuel bisa mengurangi emisi karbon sebesar 50-90 persen. Ini tergantung dari campuran yang digunakan dalam membentuk BBM ramah lingkungan nantinya.
Jesslyne menyadari adanya tantangan dalal memproduksi biofuel. Misalnya, biaya produksi, ketersediaan pasokan bahan baku, kesiapan infrastruktur, serta dukungan kebijakan yang konsisten dari pemerintah. Walau Jesslyne menilai Indonesia sudah cukup berhasil dengan implementasi bio solar 35 persenn atau B35.
Menurut saya Indonesia telah menunjukkan apa yang mungkin dengan mandat pencampuran biodiesel 35 persen yang sangat berhasil, atau program B35, yang 100 persen berbasis-pound, menghasilkan 12 juta ton volume biodiesel, mengurangi 30 juta ton emisi gas rumah kaca, tuturnya.
Saya kira itu sekitar 20 persen dari emisi transportasi dari Indonesia tahun lalu saja. Jadi ini bisa sangat berhasil, bukan? Ini juga menghemat devisa sebesar Rp 161 triliun dengan mengurangi impor bahan bakar fosil ke Indonesia, imbuh Jesslyne.