Jakarta Rencana aturan kemasan rokok polos tanpa merek yang tertera pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan menimbulkan berbagai polemik dan protes keras dari berbagai pihak, terutama dari sektor pertembakauan. Kebijakan ini dinilai minim kajian, terutama dampak dari sisi sosial dan ekonomi.
Pakar Kebijakan Publik Gitadi Tegas Supramudyo, melihat RPMK hanya memakai pendekatan sesuai tugas fungsi kesehatan yang memunculkan banyak resistensi dari sisi lain. Padahal, suatu perumusan kebijakan idealnya perlu memakai pendekatan multidisiplin yang mencakup banyak hal di dalamnya.
“Prediksi saya kebijakan (kemasan rokok polos tanpa merek) ini akan menimbulkan masalah atau polemik karena hanya menggunakan satu perspektif, yaitu kesehatan,” ucapnya dikutip Jumat (27/9/2024).
Gitadi juga menilai bahwa dampak atau beban dari kebijakan aturan kemasan rokok polos tanpa merek ini akan menjadi tugas berat bagi Pemerintahan Prabowo-Gibran.
“Pemerintahan baru akan terpaksa mundur selangkah untuk masalah kemasan rokok polos tanpa merek ini karena harus melakukan pemetaan ulang ‘masalah baru’ yang muncul akibat kebijakan tersebut,” terangnya.
Menurut Gitadi kemasan rokok polos tanpa merek bukanlah solusi yang tepat untuk menekan prevalensi perokok di Indonesia karena belum tentu mampu menurunkan konsumsi. Bahkan, ia khawatir kebijakan tersebut akan semakin meningkatkan peredaran rokok ilegal.
Aturan kemasan rokok polos tanpa merek juga dinilai bertentangan dengan berbagai target yang diusung oleh pemerintah baru, seperti target penerimaan negara dari cukai (tax ratio) sebesar 23%. Kebijakan ini dinilai akan membuat target penerimaan negara dari cukai yang tinggi tersebut menjadi tidak dapat tercapai.