Jakarta Polemik kemasan rokok polos tanpa merek dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) dan regulasi PP Nomor 28 Tahun 2024 menjadi salah satu perbincangan hangat banyak pihak, termasuk Institute for Development of Economics and Finance alias INDEF.
Lembaga riset independen terdepan Tanah Air ini memandang kebijakan tersebut telah memunculkan sejumlah tantangan dan kontroversi yang signifikan.
Kepala Pusat Industri INDEF, Andry Satrio Nugroho menilai dua regulasi ini belum sepenuhnya mempertimbangkan dampak terhadap para pengusaha dan industri secara keseluruhan. Ironisnya, PP 28/2024 dan RMPK yang seharusnya fokus mengatur aspek kesehatan, justru berimbas kepada perekonomian, bahkan sebelum manfaat dari sisi kesehatan dirasakan oleh khalayak luas.
“Kebijakan ini, yang tampaknya terburu-buru diterapkan, malah menambah beban bagi sektor tembakau yang sudah menghadapi kesulitan,” ujarnya dikutip Minggu (15/9/2024).
Salah satu isu utama adalah penerapan kemasan rokok polos tanpa merek melalui draft RPMK yang tengah didorong untuk segera disahkan. Kebijakan ini diniatkan dan bertujuan untuk menstandarkan kemasan produk tembakau, namun memicu kontroversi karena menghilangkan unsur merek atau hak kekayaan intelektual pada produk.
Di samping itu, beleid ini dianggap belum terkoordinasi dengan baik antara Kemenkes dan kementerian terkait lainnya seperti Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Andy mencatat kurangnya transparansi dari pihak Kemenkes juga menjadi sumber kekhawatiran, apalagi dengan adanya penolakan publik yang signifikan. Selain itu, dampak dari kebijakan kemasan polos tanpa merek diperkirakan bakal menghantam industri tembakau.