Jakarta Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 mengenai pengamanan produk tembakau dan rokok elektronik telah menuai banyak kritik dari anggota legisIasi. Kebijakan yang memuat ketentuan kemasan rokok polos tanpa merek itu menjadi hal yang paling disoroti, mengingat besarnya potensi dampak bagi ekonomi.
Anggota Komisi XI Fraksi Golkar, Mukhamad Misbakhun menyoroti bagaimana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek ini masuk pertimbangan dalam amanat RPMK. Padahal, kata dia, sangat jelas bahwa kebijakan tersebut telah melalaikan kepentingan petani, pekerja atau buruh, dan pedagang yang menggantungkan diri pada industri hasil tembakau.
“Dampak ekonomi yang signifikan ini malah menjadi sesuatu yang luput untuk dilihat oleh para pemangku kebijakan sehingga saya melihat ini adalah pendekatan yang tidak seimbang,” kata dia dikutip Kamis (26/9/2024).
Misbakhun mengkritisi penggodokan kebijakan yang terjadi. Ia melihat hal ini menjadi dorongan dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), sebuah kesepakatan segelintir negara-negara sebagai bentuk pengendalian tembakau. Tak pelak, politisi Golkar ini pun mempertanyakan dasar dari pembentukan kebijakan yang banyak menuai polemik ini.
Sejatinya Indonesia sendiri merupakan negara produsen tembakau, berbeda dengan negara lain sebagai konsumen tembakau yang memberlakukan kebijakan FCTC. Sebab itu, kata dia, seharusnya Indonesia punya kedaulatan penuh dan punya dasar untuk berani mengambil sikap untuk mengedepankan dan melindungi petani, pedagang, segala macam roda ekonomi yang berjalan dan menggantungkan diri pada industri tembakau.
Melindungi hak buruh dan petani adalah amanat konstitusi, tegasnya.
Senada dengan Misbakhun, Nurhadi Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi NasDem mengingatkan pemerintah terkait untuk mempertimbangkan dampak sosial dari kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dalam RPMK. Terlebih, di tengah kondisi ekonomi nasional saat ini yang sedang tidak baik-baik saja.
“Jangan sampai, kalau RPMK ini tidak dikoreksi atau dievaluasi, maka selain akan menyebabkan kegaduhan di dalam negeri, ini tentu juga akan berpotensi sekitar 6 juta pekerja tereduksi dan menambah rentetan jumlah PHK,” ucapnya.