Jakarta – Industri nikel dalam negeri masih menghadapi berbagai tantangan, salah satunya dalam penguasaan teknologi untuk menghasilkan nilai tambah bagi sumber mineral tersebut.
Hal itu diungkapkan oleh Sekretaris Kementerian Investasi dan Hilirisasi, serta Badan Koordinasi Penanaman Modal, Heldy Satrya Putera.
Saat kita ingin memproses kekayaan alam ini, ada beberapa hal yang saat ini masih terkendala atau punya masalah. Pertama adalah teknologi, jadi walaupun kekayaan alam kita banyak, tetapi penguasaan teknologi kita masih kurang atau masih sangat sedikit,” ujar Heldy dalam Executive Forum yang digelar di The Tribrata Hotel & Convention Center, Jakarta Selatan, Jumat (20/12/2024).
Ia melanjutkan, hal ini yang menyulitkan sumber kekayaan alam Indonesia, termasuk bahan mineral, mempunyai nilai tambah.
Maka dari itu yang kita usahakan saat ini adalah mengundang para pengusaha, investor, hingga juara yang memiliki teknologi untuk mengembangkannya di Indonesia, beber Heldy.
Ia pun mengakui teknologi tersebut sebagian besar dapat diperoleh dari hasil investasi asing, mengingat besarnya biaya yang diperlukan.
Untuk hilirisasi hasil tambang mineral-batu bara investasinya besar sekali. Bayangkan satu contoh: Freeport yang ada di Gresik investasinya mencapai Rp.80 triliun. Butuh investasinya, sementara pemain lokal kita sangat terbatas yang bisa melakukan,” jelas dia.
Perbankan kita pun belum ada yang berani untuk memberikan support financial,” ia menambahkan.
Untuk pengadaan teknologi, Heldy menyampaikan, Pemerintah membuat kebijakan yang mendorong agar para pelaku usaha memberikan pelatihan kepada tenaga kerja Indonesia untuk bisa menguasai teknologi itu.
Maka sewaktu mereka membangun infustrinya, anak-anak terbaik bangsa kita sudah terlatih. Sehingga begitu pabriknya sudah selesai, yang menjalankan industrinya termasuk tenaga-tenaga Indonesia. Harapannya mereka bisa menjadi cikal bakal untuk industri,” imbuhnya.