Jakarta – Raksasa energi Inggris Shell mengumumkan laba bersih tahunan turun 17 persen. Laba bersih itu turun seiring harga minyak dan gas yang lesu dan penghapusan aset.
Mengutip Yahoo Finance, Jumat (31/1/2025), laba setelah pajak turun menjadi USD 16,1 miliar atau sekitar Rp 262,46 triliun (asumsi kurs dolar AS terhadap rupiah 16.302) pada 2024.
Pendapatan turun hampir 11 persen menjadi USD 289 miliar atau Rp 4.711 triliun pada 2024. Hal itu yang membuat Shell mundur dari beberapa target iklim utama.
Harga minyak tertekan oleh melemahnya ekonomi China, sedangkan biaya gas turun drastis sejak melonjak setelah invasi Ukraina oleh produsen energi Rusia.
Pada akhir 2024, Shell mengumumkan memangkas ratusan pekerjaan dari divisi eksplorasi minyak dan gas untuk mengurangi biaya
Fokus Pemegang Saham
Chief Executive Wael Sawan menggambarkan kinerja keuangan tahun lalu “kuat” meski harga minyak lebih rendah. Namun, kinerja keuangan meski turun, Shell meningkatkan dividen sebesar empat persen dan membeli kembali saham atau buyback sebesar USD 3,5 miliar atau sekitar Rp 57,06 triliun.
Shell yang harga sahamnya sedikit naik sebagai reaksi, tetapi berada di persimpangan jalan yang terpecah antara tarikan transisi energi yang tampaknya tak terelakkan dan tuntutan pemegang saham,” ujar Head of Equity Research Hargreaves Lansdown.
Ia menuturkan, kekuatan finansial Shell memberi daya untuk investasi demi masa depan serta memberikan distribusi yang besar. “Tetapi masih ada beberapa keraguan besar mengenai bagaimana perusahaan berencana untuk beradaptasi dengan perubahan pergeseran dalam bauran energi,” kata Nathan.
Sawan menuturkan, Shell akan memperbarui strategi untuk memberikan nilai lebih dengan emisi lebih sedikit pada Maret. Perusahaan itu tahun lalu membukukan penurunan nilai yang signifikan karena proyek biofuel yang ditangguhkan di Belanda.