Jakarta Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) berpotensi menjadi pengelola pungutan dari industri ekstraktif, khususnya batu bara dan nikel, serta sektor kelapa sawit. Jika dikelola dengan baik, pungutan dari ketiga sektor ini bisa menjadi sumber pendanaan yang signifikan untuk mempercepat transisi energi Indonesia menuju energi bersih dan terbarukan.
Setiap tahunnya, potensi dana yang bisa dihimpun dari pungutan ini mencapai Rp 552 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp 353 triliun berasal dari pungutan produksi batu bara, Rp 107 triliun dari tarif ekspor nikel, dan Rp 92 triliun dari tarif ekspor minyak sawit mentah (CPO).
Menurut para ekonom, pemerintah sebenarnya memiliki peluang untuk menambah penerimaan negara dengan mengenakan pungutan pada sektor-sektor ekspor unggulan seperti batu bara, nikel, dan minyak sawit.
Dengan berbagai skenario, pendapatan dari pungutan ini diperkirakan bisa mencapai Rp 183 triliun hingga Rp 552 triliun per tahun. Jika dikelola dengan baik, dalam lima tahun pemerintah bisa mengumpulkan dana antara Rp 915 triliun hingga Rp 2.760 triliun.
Peluang Pungutan Ekstraktif dan Sawit
Pemerintah memiliki peluang besar untuk mengoptimalkan penerimaan dari sektor batu bara, terutama karena industri ini masih mencetak keuntungan besar meskipun kondisi pasar fluktuatif.
Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN), Tata Mustasya mengatakan industri batu bara masih memberikan keuntungan di atas rata-rata (super normal profit) terlepas dari kondisi pasar yang naik turun.
“Industri batu bara bisa memberikan tambahan dana kepada negara hingga Rp 353,7 triliun per tahun,” ujarnya dalam siaran pers, dikutip Minggu (16/3/2025).
Selain meningkatkan penerimaan negara, pungutan ini juga bisa membantu mendistribusikan ekonomi dengan lebih adil dan menginternalisasi dampak lingkungan dalam harga batu bara.