Jakarta Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11 persen menjadi 12 persen menjadi topik paling hangat diperbincangkan jelang pergantian tahun. Sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), tarif PPN dinaikkan untuk kedua kalinya menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025.
Apakah kebijakan ini sudah sesuai di negara dengan pendapatan per kapita yang belum tinggi seperti Indonesia? Berdasarkan data World Bank, Produk Domestik Bruto per kapita di Indonesia tercatat sebesar 4247,85 dolar AS pada tahun 2023. PDB per kapita di Indonesia setara dengan 34 persen dari rata-rata dunia.
Sebagian besar orang khawatir akan efek domino kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen seperti inflasi dan penurunan daya beli. Di sisi lain, kenaikan PPN ini adalah bagian dari strategi untuk memperkuat basis fiskal, seiring dengan upaya pemerintah memastikan stabilitas ekonomi jangka panjang.
Pemerintah menilai langkah ini sebagai bagian dari reformasi fiskal untuk meningkatkan penerimaan negara dan mendukung pembangunan. Namun, dalam implementasinya, kebijakan ini menimbulkan tantangan tersendiri di tengah daya beli masyarakat yang belum stabil.
Menurut Chief Economist Bank Permata, Josua Pardede langkah ini adalah kebijakan yang strategis, tetapi perlu diimbangi dengan perlindungan bagi masyarakat yang memiliki penghasilan rendah.
Kenaikan ini bertujuan untuk memperkuat fiscal space dan mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Barang kebutuhan pokok dan jasa penting tetap bebas PPN, sehingga dampaknya terhadap mayoritas masyarakat kecil dapat diminimalkan,” jelasnya
Namun, beberapa pihak masih mempertanyakan relevansi kebijakan kenaikan pajak di negara dengan pendapatan per kapita yang belum tinggi seperti Indonesia.
Menanggapi hal ini, Pengamat Perpajakan Yustinus Prastowo menjelaskan bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat harus menjadi pertimbangan utama.
Semua jenis pajak itu tujuannya menyasar semua wajib pajak, maka pemberlakuannya harus mempertimbangkan daya beli. Secara konteks di lapangan, pemberlakuan secara menyeluruh ini diiringi dengan stimulus atau \’bantalan\’. Sekarang sudah diberikan beberapa stimulus kan, seperti PPH 21 ditanggung pemerintah untuk gajinya sampai dengan Rp10 juta, lalu bantuan pangan 10 kg beras untuk 16 juta rumah tangga, bantuan listrik, lalu jaminan kehilangan pekerjaan dan sebagainya, dan berbagai program lainnya, itu kan cara pemerintah memberikan kompensasi. Jadi, dampak pasti ada tapi itu kan diminimalisir,” ungkapnya.