Jakarta – Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan dalam menghadapi kondisi global yang tidak menentu, berbagai negara mulai mengambil kebijakan proteksionis.
Misalnya, China memberlakukan tarif impor hingga 34% atas barang-barang dari AS. Kemudian, Vietnam berupaya meminta penundaan tarif terutama untuk produk ekspor seperti Nike, tetapi belum mendapat respons.
Sementara itu, India tetap dikenai sanksi meskipun melakukan pendekatan diplomatik. Malaysia memilih mengikuti langkah kolektif ASEAN.
Merespons kondisi global tersebut, sejumlah negara mengambil langkah-langkah kebijakan. China mengenakan tarif impor atas barang dari AS hingga 34%. Vietnam meminta penundaan tarif, terutama untuk produk seperti Nike, namun belum mendapat respons dari AS, kata Airlangga dalam acara Silaturahmi Ekonomi Bersama Presiden RI: Memperkuat Daya Tahan Ekonomi Nasional, di Menara Mandiri Sudirman, Jakarta Selatan, Selasa (8/4/2025).
Untuk Indonesia mengadopsi pendekatan diplomatik dan aktif membuka akses pasar serta memperkuat kerja sama intra-ASEAN. Hal ini penting mengingat ASEAN menjadi penyumbang defisit perdagangan terbesar kedua bagi AS setelah China.
Alasan Pemerintah RI Pilih Negosiasi dengan AS
Airlangga Hartarto mengungkapkan, alasan di balik keputusan Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk mengambil jalur negosiasi dalam merespons kebijakan tarif impor yang diberlakukan oleh Presiden AS, Donald Trump.
Menurut Airlangga, keputusan ini didasari pertimbangan Amerika Serikat merupakan mitra strategis bagi Indonesia. Dalam berbagai pembicaraan dan rapat, Presiden Prabowo memberikan arahan agar Indonesia tidak mengambil langkah konfrontatif, melainkan menempuh strategi diplomasi ekonomi melalui negosiasi.
Arahan Bapak Presiden untuk merespon ini, dalam beberapa kali pembicaraan bahkan dalam rapat, ini Indonesia memilih jalur negosiasi karena Amerika merupakan mitra strategis, kata Airlangga.
Salah satu langkah konkret yang dilakukan Pemerintah Indonesia adalah melakukan revitalisasi terhadap perjanjian perdagangan dan investasi, termasuk Trade and Investment Framework Agreement (TIFA) yang terakhir diperbarui pada tahun 1996 dan kini dianggap sudah usang.
Malaysia juga akan mendekati Indonesia melakukan perjanjian TIFA, ujarnya.