Jakarta – Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengungkap perbedaan UMKM di Indonesia dan Korea Selatan maupun Jepang. Menurutnya, UMKM Indonesia kesulitan mendapat pembiayaan formal.
Dia bilang, aspek pembiayaan dari sektor formal ini menjadi permasalahan yang kerap dihadapi oleh UMKM. Menteri Teten Masduki bilang, skema pembiayaan dari perbankan masih konvensional yang mengutamakan adanya jaminan. Padahal pelaku UMKM khususnya sektor mikro mayoritas tidak memiliki aset yang bisa digunakan sebagai agunan atau kolateral.
Ini bedanya dengan UMKM di Korea Selatan dan Jepang. UMKM kita sulit mendapat pembiayaan karena berisiko NPL (non performing loan/ kredit macet) yang sangat tinggi. Ini tantangan terbesarnya karena itu hampir separuh dari UMKM kita belum terhubung ke perbankan, kata Menteri Teten dalam keterangannya, Kamis (29/8/2024).
Sebagai solusinya, Kemenkop UKM tengah mendorong skema pembiayaan bagi UMKM dengan skema credit scoring. Sehingga memungkinkan pelaku usaha khususnya sektor mikro untuk mendapat kemudahan akses pembiayaan.
Dengan skema ini, lembaga perbankan tidak harus meminta jaminan tetapi hanya perlu membaca data rekam jejak kinerja usahanya.
Kami menggunakan metode ini dan sudah kami uji cobakan. Ternyata banyak UMKM atau sekitar 70 persen layak menerima kredit, selama ini mereka tidak terjangkau karena sebagian besar perbankan hanya menggunakan data history kredit, kata Teten.
Teten juga menyoroti karakteristik UMKM Indonesia yang masih mayoritas informal dan skala ekonominya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan harian semata. Akibatnya sulit bagi sektor usaha mikro ini untuk bisa naik kelas dan bersaing di pasar lokal apalagi global.
Hari ini kita sudah 30 tahun menjadi negara berkembang dan banyak negara yang gagal memperbaiki struktur ekonomi dengan lebih berkualitas karena karakteristik UMKM mayoritas informal dan tidak terhubung dengan market atau industri, ungkapnya.