Jakarta Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perlindungan PMI Nofel Saleh Hilabi berharap pemerintah untuk mencabut moratorium pengiriman pekerja migran Indonesia (PMI) ke negara Timur Tengah.
Pernyataan ini disampaikan merespons dampak kebijakan moratorium tersebut. Dia menilai moratorium pengiriman membuat hilangnya devisa negara dari sektor pengiriman PMI, remitansi yang ikut terpengaruh dan over kapasitas pengangguran di dalam negeri karena terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal akibat resesi ekonomi dunia yang sebetulnya bisa dicarikan solusi dengan pengiriman tenaga kerja yang terampil ke kawasan Timur Tengah.
Nofel menilai moratorium telah memberikan efek domino perekonomian nasional, terutama bagi sektor penyaluran tenaga kerja ke luar negeri.
Pasar kerja di Timur Tengah merupakan salah satu destinasi terbesar bagi peningkatan kesejahteraan PMI, sehingga larangan pengiriman tenaga kerja ke wilayah tersebut sangat merugikan negara secara ekonomi dan masa depan PMI dan keluarganya, ujar Nofel Saleh Hilabi dikutip Rabu (16/4/2025).
Kondisi ini menegaskan bahwa jika pengiriman PMI terus dibatasi, potensi pemasukan devisa negara yang mencapai triliunan rupiah akan semakin menguap dan tidak bisa dimanfaatkan secara optimal untuk berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional yang ditargetkan Pemerintahan Prabowo hingga 8 persen.
Moratorium Dicabut, Cegah Bencana Ekonomi Makro
Nofel menyebut potensi devisa Timur Tengah mencapai Rp 400 Triliun per tahun jika moratorium dicabut. Kemudian diproyeksikan pengiriman 600 ribu PMI ini dapat menghasilkan devisa Rp 48.6 Triliun, bebernya.
Data menyebutkan bahwa Indonesia harus mengakui negara di kawasan Asean yakni Vietnam dan Filipina yang unggul jauh dalam pengiriman PMI resmi hingga mampu mendulang devisa besar.
Dari perbandingan PMI 2024 Filipina mampu menyumbang jumlah tenaga kerjanya sebanyak 2,1 juta orang dengan devisa $36,1 miliar dan skilled worker sebesar 68%. Kemudian Vietnam 1,8 juta orang dengan devisa $29,4 miliar, dan skilled worker 72%.