Jakarta Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Koperasi dan Ritel Indonesia (Akrindo), Anang Zunaedi, menilai sejumlah aturan bagi produk tembakau, khususnya larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak serta penjualan rokok eceran seperti yang tertera pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan akan mempersulit kondisi pedagang koperasi dan ritel yang tersebar di berbagai wilayah.
“Karena selama ini, rokok merupakan komoditas utama yang membantu omzet penjualan hingga 50%. Aturan ini jelas akan mempersulit pelaku usaha seperti kami,” ungkap Anang dikutip Sabtu (3/8/2024).
Anang melanjutkan selama ini pembeli rokok dari para peritel adalah para konsumen dewasa yang berada di sekitar kawasan koperasi maupun pedagang ritel. Apalagi, banyak pedagang yang sudah ada terlebih dulu dibandingkan dengan satuan pendidikan maupun tempat bermain anak.
“Pemerintah seharusnya memikirikan posisi pedagang ritel yang sudah ada sebelum fasilitas pendidikan dan tempat bermain anak tersebut didirikan.” terangnya.
Selain itu, Anang juga menyatakan dengan adanya pelarangan tersebut terdapat potensi peralihan konsumsi ke rokok ilegal yang dapat menekan para peritel yang telah patuh untuk menjual rokok legal sesuai hukumnya. Penerapan regulasi ini dapat menyulitkan masyarakat dan pengawasannya juga masih menjadi pertanyaan.
“Masih banyak hal lain yang harus diurus oleh pemerintah daripada mengatur, apakah penjualan harus dilakukan secara eceran atau tidak? atau apakah penjualan boleh dilakukan dekat dengan lokasi tertentu?” herannya.
Larangan Penjualan Rokok Ketengan
Senada, Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Luluk Nur Hamidah, menegaskan PP Kesehatan yang melarang penjualan rokok ketengan telah mengorbankan rakyat kecil. Ketentuan ini akan mematikan usaha mikro yang selama ini sudah eksis berjualan.
Luluk menegaskan pengetatan aturan rokok menyangkut urusan kesehatan masyarakat. Namun, pemerintah semestinya juga mempertimbangkan aspek ekonomi dari kebijakan yang akan berdampak kepada pelaku usaha kecil dan masyarakat berpenghasilan rendah.
Pemerintah, kata dia, seharusnya juga mempertimbangkan kebutuhan rakyat dengan perekonomian rendah. “Kebijakan pelarangan penjualan rokok ketengan tidak berpihak pada wong cilik. Lagi-lagi pelaku usaha mikro yang menjadi korban,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Menurut Luluk, dibandingkan melarang penjualan rokok ketengan, pemerintah seharusnya fokus memperdalam literasi tentang bahaya rokok kepada anak-anak. Kebijakan baru ini justru menambah masalah ekonomi kerakyatan baru, sementara tujuan utamanya belum tentu tercapai. “Saya berharap kebijakan larangan penjualan rokok ketengan bisa ditinjau ulang oleh pemerintah,” pungkasnya.