Jakarta Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Penerapan PPN 12% akan lebih banyak menyasar produk dan layanan premium yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi. Sementara itu, berbagai kebutuhan pokok dan layanan dasar akan tetap mendapatkan fasilitas pembebasan PPN untuk menjaga daya beli masyarakat.
Di tengah keputusan pemerintah menaikkan tarif PPN, muncul kekhawatiran akan berdampak pada daya beli dan daya saing Indonesia dengan negara lain. Terlebih, Vietnam telah mengumumkan perpanjangan penurunan PPN dari 10% menjadi 8% selama 6 bulan kedepan. Perbandingan kebijakan Indonesia dan Vietnam itu pun memicu reaksi publik.
Terkait perbandingan kebijakan tersebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menegaskan bahwa setiap negara memiliki kebijakan ekonomi yang berbeda dan tidak bisa disamaratakan. Ia percaya, perbedaan tarif PPN tidak akan mempengaruhi daya saing Indonesia.
Tidak (mempengaruhi daya saing Indonesia). PPN itu untuk barang yang sudah ada, kata Airlangga kepada awak media di Jakarta beberapa waktu lalu.
Optimisme Airlangga tak lepas dari kebijakan pemerintah Indonesia yang memberikan lebih banyak insentif PPN dibandingkan Vietnam. Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa kesejahteraan masyarakat menjadi salah satu aspek esensial yang terus ditingkatkan Pemerintah melalui penerapan berbagai skema kebijakan dan program strategis.
Agar kesejahteraan masyarakat tetap terjaga, Pemerintah telah menyiapkan insentif berupa Paket Stimulus Ekonomi yang akan diberikan kepada berbagai kelas masyarakat,” ungkap Menko Airlangga.
Dengan proyeksi insentif PPN dibebaskan yang diberikan pada tahun 2025 sebesar Rp 265,6 triliun, Pemerintah tetap memberikan fasilitas bebas PPN atau PPN tarif 0% berkenaan dengan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat umum dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak.