Jakarta Sejumlah pakar kebijakan publik dan ahli hukum menilai langkah untuk mengadopsi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) pada aturan terkait dengan industri tembakau dinilai cacat hukum karena FCTC tidak diakui dan diratifikasi oleh Indonesia.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia (AAKI), Trubus Rahadiansyah, menyatakan dampak dari rancangan aturan yang mematok FCTC sebagai acuan perumusan aturannya akan menjadi beban tambahan bagi pemerintahan baru Prabowo-Gibran.
Padahal, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh pemerintahan baru, termasuk aturan melenceng jauh dari Undang-Undang (UU) Kesehatan yang telah disahkan.
“Banyak aturan yang bertentangan dengan UU Kesehatan-nya sendiri. Padahal, seharusnya tidak boleh keluar dan melebihi dari mandat UU Kesehatan, mestinya hanya bisa menerjemahkannya menjadi aturan teknis. Selain itu, aturan turunan tersebut tidak boleh menambah klausul dan norma baru, yang mana di UU Kesehatan-nya sendiri tidak ada aturan tersebut,” imbuhnya.
Dalam hal ini, Trubus mengatakan kebijakan yang ekstrim ini tidak tepat untuk dijalankan pada industri tembakau yang berkontribusi besar terhadap serapan tenaga kerja dan perekonomian Indonesia. Ia menyarakan agar pemerintahan baru untuk memberikan perlindungan terhadap keberlangsungan tenaga kerja di Indonesia terutama di tengah terjadinya deflasi di lima bulan beruntun.
“Seharusnya, pemeritah melakukan evaluasi menyeluruh terkait seluruh pengaturan industri tembakau. Industri ini perlu didukung untuk menyerap tenaga kerja yang besar guna menekan angka deflasi. Ini yang semestinya menjadi perhatian pemerintah, khususnya pemerintahan baru,” tegasnya.