Jakarta – Penasihat Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro menekankan pentingnya reformasi subsidi energi guna membuka peluang lebih besar bagi investasi hijau di Indonesia.
Dia menuturkan, subsidi energi saat ini masih didominasi oleh bahan bakar fosil, sehingga membatasi insentif bagi pengembangan energi terbarukan.
Sebagian besar anggaran subsidi energi masih dialokasikan untuk bahan bakar fosil, seperti BBM dan LPG 3 kg. Padahal, jika sebagian dari subsidi ini dialihkan untuk mendukung energi terbarukan, kita dapat menciptakan insentif yang lebih kuat bagi investor di sektor hijau,” kata Bambang Brodjonegoro, dalam paparannya sebagai pemateri di acara KabarBursa Economic Insight (KEI) 2025 dengan tema “Greenomic Indonesia: Challenges in Banking, Energy Transition, and Net Zero Emission” di Le Meridien Jakarta, Rabu, 26 Februari 2025, seperti dikutip dari keterangan resmi, Kamis (27/2/2025).
Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan pada 2025, pemerintah mengalokasikan Rp90,22 triliun untuk subsidi listrik, meningkat dari Rp73,24 triliun pada 2024. Kenaikan ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penerima subsidi listrik dari 40,89 juta pelanggan pada 2024 menjadi 42,08 juta pada 2025.
Selain itu, laporan Bank Dunia pada Juni 2023 mencatat Indonesia mengucurkan subsidi energi fosil sebesar USD11,9 miliar (sekitar Rp170,6 triliun) sepanjang 2021, menjadikannya negara dengan subsidi energi fosil terbesar di ASEAN.
Menteri Keuangan periode 2014-2016 ini menyarankan pendekatan bertahap dalam alokasi subsidi, misalnya dengan menerapkan pembagian 30 persen untuk energi hijau dan 70 persen untuk energi fosil, sebelum akhirnya secara progresif diarahkan sepenuhnya kepada energi terbarukan.
Ke depan, subsidi energi seharusnya hanya diberikan untuk energi baru terbarukan (EBT). Dengan demikian, kita dapat menciptakan mekanisme pembiayaan katalitik yang mampu menarik investasi dari sektor swasta, baik domestik maupun asing,” tambahnya.