Jakarta – Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengungkapkan kemungkinan jika tidak ada koreksi kebijakan terkait harga minyak goreng rakyat atau MinyaKita.
Pertama, produsen menjual MinyaKita sesuai harga eceran tertinggi (HET) tetapi mengorbankan kualitas, menyunat dan mengurangi isi kemasan. Kedua, produsen tetap produksi MinyaKita sesuai kualitas dan tidak menyunat isi, tetapi menjual dengan harga di atas HET.
Keduanya berisiko dan melanggar aturan. Tapi kalau aturan yang ada tidak memungkinkan usaha eksis dan sustain tanpa melanggar aturan yang patut disalahkan pengusaha atau pembuat regulasi,” kata dia, seperti dikutip dari Antara, Senin (10/3/2025).
Seiring hal itu, pemerintah dinilai perlu membuat kebijakan baru terkait dengan penetapan harga MinyaKita.Kebijakan saat ini amat tidak menguntungkan produsen. Menurut dia, pengelola kebun sawit, produsen MinyaKita, pedagang, dan konsumen adalah satu mata rantai tak terputus.
Ke depan, pemerintah perlu membuat kebijakan yang tidak mendistorsi harga, kata Khudori.
Ia menuturkan, biaya pokok produksi sudah jauh melampaui harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp15.700. Harga bahan baku minyak goreng sawit, yakni crude palm oil (CPO), dalam negeri selama enam bulan terakhir tercatat sekitar Rp15.000-16.000 per kilogram.
Apabila angka konversi CPO ke minyak goreng 68,28 persen dan 1 liter setara 0,8 kilogram, diketahui untuk memproduksi MinyaKita seharga Rp15.700 per liter, maka harga CPO yang dibutuhkan kurang lebih Rp13.400 per kilogram.
Ini baru menghitung bahan baku CPO. Belum memperhitungkan biaya mengolah, biaya distribusi, dan margin keuntungan usaha. Kalau ketiga komponen itu diperhitungkan, sudah barang tentu harga CPO harus lebih rendah lagi, tutur dia.