Jakarta – Pengamat mata uang, Ibrahim Assuaibi menilai berakhirnya perang Rusia-Ukraina tidak akan menjadi pendorong yang kuat bagi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Lantaran, ekonomi global, tak terkecuali Indonesia tengah dihantui dengan dampak pengenaan tarif dagang Amerika Serikat terhadap China. Baru-baru ini, AS mengumumkan pengenaan tarif impor sebesar 25% pada China.
Saat ini Rupiah condong mengalami perlemahan karena perang dagang,” kata Ibrahim kepada www.wmhg.org di Jakarta, Rabu (12/2/2025).
Ibrahim melihat, perang dagang AS-China menimbulkan risiko pada pasar tembaga dan aluminium.
Kita mengetahui bahwa tembaga dan aluminium itu adalah salah satu bahan dasar untuk infrastruktur yang cukup luar biasa. Bahkan negara-negara seperti Eropa,” ujar dia.
Sementara itu, di Asia, perang dagang AS-China juga berisiko memberatkan industri di Jepang hingga Korea Selatan.
Kenapa? Kalau biaya impornya 25 persen, berarti harga pun juga akan dinaikkan 25 persen,” ucap Ibrahim.
Sedangkan negara-negara yang terdampak perang akan melakukan rekonstruksi. Rekonstruksi ini, adalah rekonsiliasi dengan melakukan pembangunan-pembanguna baik di Gaza, Palestina maupun di Rusia dan Ukraina.
“Rekonstruksi membutuhkan bahan infrastruktur cukup besar. Maka kalau seandainya biaya impor untuk baja dan aluminium ini naik sampai 25 persen, ini akan berdampak negatif terhadap pasar,” imbuh Ibrahim.
Dengan demikian, dolar AS berpotensi terus menguat, sedangkan rupiah ini sedikit tertahan.
Kalau seandainya hari ini rupiah mengalami penguatan, ini dampak karena taking profit ya, sudah terlalu jenuh..kemudian taking profit dan Rupiah kembali lagi mengalami penguatan,” kata dia.
Namun, harus diingat juga bahwa tadi malam pun Bank Sentral Amerika Serikat dalam pertemuannya masih akan tetap mempertahankan suku bunga tinggi karena kondisi ekonomi, serta perang dagang membuat inflasi naik,” ia menambahkan.