Jakarta – Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja menyoroti kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen, dan rencana kenaikan upah minimum provinsi atau UMP 2025 yang akan diterapkan bersama tahun depan.
Alphonzus mengatakan, pihak pengusaha mal meminta pemerintah membatalkan, atau paling tidak menunda kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen. Dia memaparkan beberapa alasan, lonjakan tarif PPN bisa berimbas negatif dari sisi konsumen.
Kenaikan tarif PPN akan mengakibatkan kenaikan harga produk/barang, yang mana akan memberatkan masyarakat. Terutama untuk kelas menengah bawah yang saat ini masih mengalami kesulitan dalam hal daya beli, ujar Alphon kepada www.wmhg.org, Kamis (21/11/2024).
Menurut dia, tarif PPN yang berlaku saat ini termasuk kategori tidak rendah jika dibandingkan dengan tarif yang berlaku di beberapa negara tetangga. Sehingga sebenarnya tidak ada alasan mendesak untuk menaikkannya.
Jika pemerintah perlu menaikkan penerimaan atau pendapatan negara, dia menambahkan, sebaiknya meningkatkan pertumbuhan usaha secara maksimal terlebih dahulu.
Karena saat ini masih banyak potensi pertumbuhan yang masih belum diupayakan secara maksimal. Kenaikan tarif bisa dilakukan setelah pertumbuhan usaha mencapai tingkat yang optimal, imbuhnya.
Jika memang pemerintah tetap akan memberlakukan kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen pada awal tahun 2025, maka harus dibarengi dengan berbagai stimulus. Agar supaya daya beli masyarakat kelas menengah bawah tidak semakin terpuruk, ia menambahkan.
Di sisi lain, ia meminta kenaikan UMP 2025 diperhitungkan secara cermat. Pasalnya, kebijakan itu bak pisau bermata dua dari sisi pekerja maupun pengusaha.
Pekerja membutuhkan kenaikan UMP untuk menjaga daya beli, sementara pelaku usaha juga sedang mengalami tekanan. Akibat salah satu penyebabnya adalah hal yang sama juga, yaitu masalah daya beli. Untuk itu diperlukan keseimbangan di antara keduanya, tuturnya.