Jakarta Asosiasi Penumpang Kereta (ASPEKA) mengungkapkan bahwa pihaknya menolak rencana penutupan Stasiun Karet di kawasan Jakarta Pusat.
Ketua Harian ASPEKA, Alfred Sitorus menyampaikan, pihaknya menolak rencana Stasiun Karet ditutup karena belum adanya kajian yang mendasar terkait dengan penutupan tersebut.
Secara tegas, kita harus menolak berbagai usulan untuk menurunkan kuantitas dan kualtias layanan mass public transport seperti halnya Commuter Line ini; dalam konteks ini rencana penutupan Stasiun Karet dan penerapan kembali multi operation perjalanan KRL, ujar Alfred Sitorus dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (17/1/2025).
ASPEKA mendorong Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan untuk segera melakukan pengkajian terkait penutupan Stasiun Karet. Pasalnya, menurut Alfred, pelayanan di stasiun tersebut masih bisa ditingkatkan salah satunya melalui penambahan panjang peron.
(Baiknya) di deliver dulu standar pelayanan minimum Stasiun Karet untuk semua kalangan itu, apakah sudah benar benar dikerjakan kewajibannya baik oleh Dirjen KA, PT KAI, atau KAI Commuter, imbuhnya.
ASPEKA mengutip data PT KCI, yang menunjukkan bahwa lalu lalang pengguna KRL yang masuk ke Stasiun Karet mencapai hampir 2.000 orang/jam atau sekitar 34.000 orang/hari.
Dampak Penutupan Stasiun Karet
Dengan demikian, penutupan Stasiun Karet akan berdampak pada peningkatan emisi kendaraan bermotor dan pengeluaran biaya, karena bergesernya 34.000 penumpang stasiun tersebut ke alternatif kendaraan lain.
Selain akan menurunkan kenyamanan pengguna KRL, maka penutupan Stasiun Karet juga akan berdampak pada peningkatan emisi kendaraan bermotor, kemacetan lalu lintas, dan pemborosan BBM yang diakibatkan oleh bergesernya pengguna KRL, jelas Alfred.
Alfred menuturkan, layanan mass public transport merupakan hal esensial dan tidak boleh diturunkan kuantitas dan kualitasnya. Selain harus diperhitungkan, maka harus dianalisis guna ditetapkan kebijakan pemenuhan kebutuhan tersebut berbasis TDM (transport demand management) guna memenuhi mobilitas dan aksesibilitas di suatu kawasan, lanjut Alfred.
Konteks TDM ini maka moda transportasi harus berimbang antara kendaraan bermotor (motorized Mobility) dan kendaraan tidak bermotor (non motorized Mobility), schingga kebijakan pemenuhan aksesibilitas dan mobilitas tidak menumpuk semata pada pemenuhan fasilitas kendaraan bermotor (terutama kendaraan pribadi), tetapi juga kendaraan tidak bermotor yaitu jalan kaki dan sepeda, imbuhnya.